Postingan

Puisi (Sebagai Alat) Politik

Pertarungan dalam pemilihan legislatif sudah berakhir. Siapa yang terpilih menjadi anggota legislatif pun sudah diketahui. Begitu pula dengan partai yang memenangi pemilu 2014. Namun, aroma politis masih menyeruak di hampir semua bidang kehidupan. Setelah pemilihan legislatif, pergelaran masih akan berlanjut dengan pemilihan presiden/wakil presiden. Akhir-akhir ini, masyarakat dikejutkan oleh hadirnya puisi politik. Entah siapa yang mula-mula memberikan label pada jenis puisi itu. Mungkin, karena penulisnya politikus dan/atau karena isinya “beraroma” politik, puisi itu kemudian dilabeli puisi politik. Sebenarnya, istilah “puisi politik” sudah muncul sejak lama. Pada 2008, Andrinof A. Chaniago telah menulis puisi politik, seperti “Sang Birokrat”, “Senjata”, dan “Puisi untuk Wakil Rakyat” (http://sukma-puisipolitik.blogspot.com). Bahkan, puisi-puisi seperti itu  sudah ada sejak masa awal kesusastraan Indonesia modern hingga paruh awal dekade 1960-an. Pada saat itu (1961—196

Jonru

Nama aslinya Jon Riah Ukur Ginting. Di dunia maya ia lebih dikenal dengan nama Jonru. Ia menjadi sangat terkenal berkat unggahan-unggahannya di media sosial pada masa pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu. Konon, berkat unggahan-unggahannya itu, laman penggemar (fan page)-nya di-like ribuan orang, baik sebagai penggemar maupun sebagai pembenci (hater). Dalam laman itulah mereka melontarkan dukungan atau sanggahan atas pernyataan-pernyataan Jonru. Bahkan, mereka pun kemudian mem-bully-nya sehingga terjadilah saling (mem)-bully antarmereka melalui kata-kata. Dalam perkembangannya, ia semakin populer setelah namanya (Jonru) dijadikan kosakata baru. Entah siapa yang memopulerkannya, yang jelas, akhir-akhir ini jonru menjadi sangat terkenal, terutama di dunia maya. Bahkan, Rifan Heriyadi membuat foto suntingan dari tampilan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) luring (offline) yang memberi kesan seolah-olah jonru sudah terdapat di dalam KBBI, dengan tampilan sebagai berikut. J

Siti Nurbaya

Siapa yang tidak mengenal Siti Nurbaya? Tokoh imajinatif karangan Marah Roesli itu sudah melegenda di hati hampir seluruh rakyat Indonesia (bahkan Malaysia) yang pernah mengenyam pendidikan, tingkat dasar sekalipun. Tokoh protagonis dalam roman Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai itu, karena sedemikian terkenalnya, bahkan diyakini betul keberadaannya: bukan sebagai tokoh imajinatif, melainkan sebagai tokoh yang benar-benar ada (nyata). Buktinya, sebuah makam di Gunung Padang (salah satu objek wisata di Sumatera Barat) diyakini masyarakat sebagai makam Siti Nurbaya. Beberapa waktu yang lalu, pada malam Penganugerahan Sagang 2014, Yayasan Sagang meluncurkan Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014, bersama lima buku lainnya: Naskah Melayu Kuno Daerah Riau (UU Hamidy), Dari Lubang Kembali ke Lubang (Muchid Albintani), Teror Lanun Selat Melaka: Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014 (Editor: Muhammad Amin), Humor di Tanah Melayu: Kumpulan Esai Riau Pos 2014, dan Bendera Pu

Ahok dan Gurindam 12

Perbincangan mengenai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mulai mereda. Namun, tidak menghapus ingatan orang terhadap sosoknya. Tidak dapat dimungkiri, Ahok memang fenomenal. Dia tidak hanya menguncang dunia perpolitikan di Indonesia dengan menjadi pemimpin (gubernur) beretnis Tionghoa pertama di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, menggantikan Joko Widodo, tetapi juga mengejutkan masyarakat dengan berbagai peraturan yang hendak dibuatnya. Rasanya, orang masih ingat ketika Ahok ingin melegalkan prostitusi.  Pendapatnya mengenai bir juga mengejutkan banyak orang. Ahok juga mengundang kontroversi dengan berbagai ucapannya yang dianggap orang tidak lumrah diucapkan oleh seorang pemimpin. Masyarakat juga masih ingat dengan kata-kata seperti  bangsat, bego, brengsek, dan bajingan yang dilontarkannya. Kata “bajingan” diucapkan Ahok ketika dituding menggunakan dana Corporate Social Responsibility  untuk mengelola Ahok Center. Dia mengalamatkan kata itu untuk orang yang dianggapnya

Randai Kuantan: Sebuah Catatan

Tak ada sebuah hasil budaya yang tetap atau statis. Dia akan berubah: berkembang atau mati. Hal itu sudah menjadi kodrat alam. Semua itu bergantung pada kekuatan para pendukung budaya tersebut untuk mempertahankan atau mengembangkan dan tentu saja seberapa berat tantangan yang didapat dari luar.   Demikian pula yang berlaku pada randai Kuantan. Randai yang hidup di tengah masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi ini pernah mengalami masa kejayaan dan kemunduran. Setelah terbentuknya Kabupaten Kuantan Singingi, Oktober 1999, terbuka kesempatan untuk mendukung randai ini, salah satunya dengan mengadakan perlombaan. Semangat untuk kembali menghidupkan randai mendapat sambutan dari masyarakat sehingga bermunculan grup randai hampir di seluruh daerah di Kabupaten Kuantan Singingi (terutama di Rantau Kuantan). Penonton juga kian ramai mengunjungi pertunjukan-pertunjukan randai. Mereka tak hanya dari kalangan tua yang bernostalgia dengan masa mudanya, tapi juga kalangan

Pagelaran Gelar

Pernahkah Anda melihat nama seseorang dengan deretan gelar yang panjang? Apa yang ada di pikiran Anda? Kagum atau justru merasa “aneh”? Pernahkah Anda menjumpai gelar yang tidak familiar di mata dan telinga Anda? Pernahkah juga Anda mendapati surat, undangan, atau dokumen lainnya bernama Anda, tetapi gelar Anda ditulis tidak lengkap atau salah? Bagaimana perasaan Anda, jengkel, marah, atau biasa saja? Bagi sebagian orang, gelar, apapun jenis dan tingkatannya, bukanlah sesuatu yang sangat penting sehingga apabila tidak atau salah tulis, tidaklah menjadi persoalan, apalagi jika dokumen tersebut bukan sebuah dokumen penting. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya, sebuah gelar merupakan hal yang sangat penting sehingga dokumen apapun, termasuk sebuah undangan rapat RT, misalnya, yang di dalamnya terdapat kesalahan dalam  penulisan gelar atau tidak ditulis sama sekali, dapat membuatnya meradang. Banyak alasan yang dikemukakan, misalnya susahnya mendapatkan gelar tersebut karena h

Bahasa Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Akhir tahun ini, kesepakatan yang sudah dirancang sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, Desember 1997 di Kuala Lumpur akan diberlakukan. Untuk menghadapi hal tersebut, negara-negara Asean berbenah diri. Berbagai persiapan dilakukan karena tidak ada negara yang mau mendapat kerugian dan menjadi korban dari pemberlakuan MEA. Seperti namanya, MEA memfokuskan diri pada masalah ekonomi. Pada era ini, barang, jasa, modal, dan investasi bergerak bebas di kawasan Asean.  Akan tetapi, MEA tidak hanya akan berdampak pada masalah ekonomi. Semua bidang akan merasakan imbasnya, termasuk bahasa.  Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.  Bahasa Indonesia merupakan identitas Indonesia. Sayangnya, identitas Indonesia ini mulai tergerus. Bahasa Indonesia tidak digunakan dengan tertib. Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik kian karut-marut. “Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar” seak