Bentuk-Bentuk Toka-toki Kuantan Singingi


Toka-Toki
dalam Sastra Lisan Kuantan Singingi dapat dibagi atas beberapa bentuk. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut.

1. Toka-toki Berbentuk Pengulangan
Toka-toki masyarakat Kuantan Singingi yang berbentuk pengulangan ini terbagi atas toka-toki berbentuk pengulangan bunyi dan toka-toki berbentuk pengulangan kata. Penganalisisan terhadap toka-toki berbentuk pengulangan kata dibagi pula atas pengulangan kata di awal dan di akhir kalimat. Hal tersebut akan dibahas satu per satu sebagai berikut.

1.1 Toka-toki Berbentuk Pengulangan Bunyi
Toka-toki berbentuk pengulangan bunyi ini adalah toka-toki yang bagian-bagian toka-toki tersebut membentuk perulangan bunyi. Hal tersebut terlihat pada beberapa toka-toki berikut.

Toka-toki kok
ular mati pandai merokok
Sapo dapek den tokok

‘teka-teki kok
ular mati pandai merokok
Siapa dapat saya tokok (pukul)’

Pada toka-toki tersebut, pengulangan terdapat pada akhir kata atau kalimat. Pengulangan itu berupa permainan bunyi kok. Pada baris pertama kok tidak mempunyai arti, cenderung hanya “penyedap” bunyi di dalam baris. Pada baris kedua bunyi kok melekat pada kata merokok dan pada baris ketiga melekat pada kata tokok.
Bait pertama toka-toki ini hanya menunjukkan bahwa pertanyaan berikutnya adalah berupa toka-toki, toka-toki kok. Selanjutnya, dikatakan bahwa ular mati pandai merokok. Bait kedua ini bersifat metaforis sehingga ular yang dinyatakan tersebut bukanlah ular sesungguhnya, tetapi sesuatu yang menyerupai bentuk ular. Jawaban yang didapatkan untuk toka-toki ini adalah ubek nyamuak ‘obat (anti)nyamuk’.
Obat (anti)nyamuk yang dimaksud adalah obat (anti)nyamuk bakar yang berbentuk lingkaran seperti seekor ular yang sedang bergelung. Obat (anti)nyamuk ini kalau dipergunakan akan dibakar ujungnya sehingga terlihat seperti ular mati pandai merokok. Sementara bait ketiga dibuat untuk menjebak si penjawab karena apabila si penjawab dapat menerka toka-toki ini, dia akan dipukul oleh si penanya toka-toki.

1.2 Toka-toki Berbentuk Pengulangan Kata

1.2.1 Pengulangan Kata di Awal Kalimat
Di dalam masyarakat Kuantan Singingi terdapat pula toka-toki yang berbentuk pengulangan kata. Kata yang ada pada kalimat pertama akan diulang kembali pada kalimat kedua. Biasanya kata yang diulang tersebut berada di awal kalimat.

Untuk toka-toki dalam bentuk ini, pertanyaan atau topik yang diajukan di dalam toka-toki ada dua buah. Dengan demikian, jawaban atau referen dari pertanyaan toka-toki ini juga dua. Keunikan pada toka-toki jenis ini adalah jawaban atau referen kedua selalu berbentuk pengulangan dari jawaban atau referen pertama.

Disobuik sakali jauh
Disobuik duo kali dokek

‘Disebut sekali jauh
Disebut dua kali dekat’

(Hamidy, 1995:173)

Di dalam toka-toki di atas terlihat bahwa kata disobuik pada kalimat pertama diulang kembali pada kalimat kedua. Masing-masing kalimat tersebut membutuhkan jawaban yang berbeda. Disobuik sakali jauah mempunyai jawaban langik ‘langit’, sementara Disobuik duo kali dokek mempunyai jawaban langik-langik ‘langit-langit’.
Berbeda dengan pengulangan kata dalam bentuk di atas, pengulangan kata di awal kalimat ini dapat berbentuk kata ulang atau hanya sekadar kata yang diulang dua kali, seperti contoh-contoh di bawah ini.

Posal-posal punggung den
den nak muta

‘Pijat-pijat punggungku
Aku mau muntah’

Toka-toki ini terdiri atas pertanyaan yang metaforis sehingga harus ditemukan kiasan yang dibuat oleh pencipta toka-toki. Kalimat posal-posal punggung den ‘pijat-pijat punggungku’ dimaksudkan untuk aktivitas orang yang menekan tombol power yang biasanya terletak di “punggung” senter. Pengulangan kata posal di dalam toka-toki tersebut menunjukkan perbuatan yang berulang. Sementara kalimat kedua, den nak muta ‘aku mau muntah’, mengiaskan senter yang menyala sebagai akibat dari aktivitas menekan tombol senter tersebut.

1.2.2 Pengulangan Kata di Akhir Kalimat
Selain di awal kalimat, pengulangan kata terdapat pula di akhir kalimat. Perhatikan toka-toki berikut ini.

Mati nan ompek kaki
maratok nan onam kaki
Tibo nan indak bakaki

‘Mati nan empat kaki
Meratap nan enam kaki
Tiba nan tidak berkaki’

(Hamidy, 1995:174)
Di dalam toka-toki di atas terlihat pengulangan kata kaki di setiap akhir kalimat. Pengulangan ini tidak bersifat kebetulan belaka. Si pencipta toka-toki sangat cerdas memilih diksi yang digunakan. Selain pemilihan diksi yang baik, di dalam toka-toki ini ditemui adanya perubahan dari satu fase ke fase lain dari kehidupan makhluk hidup.

Jawaban dari toka-toki di atas adalah bangkai, langau, dan ulek ‘bangkai, langau, dan ulat’. Kata bangkai digunakan untuk istilah ‘binatang yang sudah mati’. Di dalam pernyataan di atas Mati nan ompek kaki dimaksudkan untuk binatang yang mati itu mempunyai empat kaki, seperti sapi dan kambing. Pernyataan berikutnya, yaitu maratok nan onam kaki mempunyai jawaban langau. Langau ini sejenis ‘lalat besar yang suka mengerubungi bangkai’. Kata maratok ‘meratap’ merupakan metaforis dari bunyi sayap langau yang berbunyi seperti orang meratap. Sementara pernyataan selanjutnya Tibo nan indak bakaki mempunyai jawaban ulek ‘ulat’. Ketika langau datang mengerubungi bangkai, biasanya dia akan meninggalkan telurnya. Telur-telur ini akan menetas dan berubah menjadi ulat. Ulat-ulat ini tidak mempunyai kaki yang kemudian dikiaskan dengan ungkapan datang yang ndak bakaki ‘datang yang tidak berkaki’.

2.2 Toka-toki Berbentuk Permainan Kata-Kata
Toka-toki jenis ini, sebuah kata, biasanya terletak di awal kalimat, harus disambung atau dilengkapi pada bagian pertanyaannya. Sambungan dari kata tersebut merupakan jawaban dari toka-toki itu. Seringkali jawaban yang diberikan si penutur tidak disangka-sangka sebelumnya oleh penerka. Untuk itu, penerka juga perlu dibekali pengetahuan mengenai kebudayaan penutur toka-toki karena kerap jawaban yang dimunculkan berhubungan erat dengan konteks budaya, juga bahasa si penutur.

Cirik apo nan dimakan urang
‘cirit apa yang dimakan orang’

Jawab: cirik minyak ‘cirit minyak’

(Hamidy, 1995:172)
Teka-teki di atas berisi pertanyaan mengenai cirik ‘cirit’ apa yang dimakan orang. Penerka dapat saja tertawa mendengar pertanyaan teka-teki tersebut dan menganggap penutur hanya sekadar bergurau saja. Hal tersebut disebabkan pengetahuan mengenai budaya masyarakat Kuantan Singingi kurang. Dengan demikian, yang ada di pikiran pendengar adalah cirit ‘kotoran manusia (binatang); tahi’ (KBBI, 2002:215) yang sebenarnya. Padahal maksud dari pertanyaan toka-toki di atas adalah ‘sejenis makanan yang terbuat dari santan kelapa yang dipanaskan sehingga mengendap dan membentuk serupa kerak berwarna coklat yang enak dan harum baunya’. Di dalam masyarakat Kuantan Singingi makanan tersebut dinamakan cirik minyak ‘cirit minyak’.

Di dalam teka-teki lainnya, permainan kata-kata dilakukan dengan memenggal kata yang ada dan membuatnya menjadi teka-teki. Seperti di dalam teka-teki permainan kata sebelumnya, teka-teki ini sangat sukar dijawab oleh pendengar yang belum mengetahui pola yang digunakan pencipta atau penutur teka-teki.

Manso, manso apo ngan godang?
‘Manso, manso apa yang besar?’

Ketika mendengar kata manso, yang terbayang di benak masyarakat Kuantan Singingi adalah babi karena manso merujuk pada pengertian yang sama dengan babi di dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, ketika mendengar pertanyaan Manso, manso apo ngan godang? ‘Manso, manso apa yang besar?’, maka jawaban yang disebutkan adalah sesuatu yang berkenaan dengan babi.

Sebenarnya jawaban yang diinginkan pencipta atau penutur teka-teki tersebut tidak berhubungan dengan manso. Bahkan sangat jauh berbeda karena manso dianggap oleh masyarakat Kuantan Singingi yang beragama Islam sebagai binatang yang kotor dan haram dimakan. Sementara jawaban untuk toka-toki di atas adalah sesuatu yang suci dan dianggap sebagai rumah Allah. Jawaban dari pertanyaan itu adalah mansojik. Di dalam bahasa Melayu Riau subdialek Siberakun, salah satu kampung di Kecamatan Benai, Kabupaten Kuantan Singingi, mansojik berarti ‘mesjid; tempat ibadah orang yang beragama Islam’.

2.3 Toka-toki Berbentuk Pertentangan
2.3.1 Pertentangan dengan Kata atau Pernyataan Sebelumnya
Beberapa toka-toki pada masyarakat Kuantan Singingi dapat pula dimasukkan ke dalam kategori toka-toki yang mempunyai pertentangan dengan pernyataan atau kata sebelumnya. Pertentangan tersebut dapat bersifat langsung dan jelas, tetapi dapat pula secara tersirat.

2.3.1.1 Pertentangan Langsung
Toka-toki berikut ini mengandung pertentangan langsung antara kata masuak ‘masuk’ dengan kata kaluar ‘keluar’.

Masuak putih
Kaluar kuniang

‘Masuk putih
Keluar kuning’

Jawaban untuk toka-toki ini adalah urang makan nasi, kaluar cirik ‘orang makan nasi, keluar cirit’. Kalimat masuak putiah ‘masuk putih’ dimaksudkan untuk menggambarkan orang yang makan nasi yang berwarna putih. Setelah diproses di dalam lambung dan usus, nasi ini dibuang melalui anus berupa cirit. Biasanya, cirit ini berwarna kuning yang digambarkan di dalam toka-toki dengan kaluar kuniang ‘keluar kuning’.

2.3.1.2 Pertentangan Tidak Langsung
Teka-teki di bawah ini juga mengisyaratkan adanya pertentangan yang terdapat di dalam pertanyaannya. Akan tetapi, pertentangan yang diperlihatkan di dalam teka-teki tersebut berbeda dengan yang ada pada teka-teki sebelumnya.

Jalan simpang duo
Kalau dituruikan ciek, gilo awak jie urang

‘Jalan simpang dua
Kalau diturutkan satu, gila kita kata orang’

Toka-toki di atas tidak memperlihatkan adanya kata atau pernyataan yang bertentangan secara langsung. Kata duo ‘dua’ pada frasa simpang duo ‘simpang dua’ tidak bertentangan dengan kata ciek ‘satu’.

Namun demikian, pernyataan Jalan simpang duo; Kalau dituruikan ciek ‘Jalan simpang dua; Kalau diturutkan/diikuti satu’ memperlihatkan adanya pertentangan yang bersifat tidak langsung. Jalan simpang dua dipertentangkan dengan satu jalan yang harus dipilih. Hal tersebut semakin kuat dengan pernyataan berikutnya, yaitu gilo awak jie urang ‘gila kita kata orang’.

Jalan simpang dua merupakan metafora dari celana yang mempunyai dua kaki. Kalau hendak memakai celana, kedua kaki kita harus dimasukkan ke kedua kaki celana tersebut. Adalah hal yang tidak lazim, memasukkan kedua kaki ke satu kaki celana (Kalau dituruikan ciek). Kalau hal tersebut terjadi, maka orang akan menganggap orang yang melakukan hal tersebut sudah gila (gilo awak jie urang). Jadi, jawaban dari toka-toki Jalan simpang duo; Kalau dituruikan ciek, gilo awak jie urang adalah pasang calana ‘memasang; memakai celana’.

2.3.2 Pertentangan dengan Realitas, Pandangan, atau Kebiasaan Umum
Teka-teki yang berlawanan dengan kebiasaan ini dimaksudkan untuk teka-teki yang pernyataan di dalamnya berlawanan dengan keadaan yang ditemui di dalam dunia realitas atau yang lazim dijumpai.

Loju mandaki dari manurun
‘Laju mendaki daripada menurun’

(Hamidy, 1995:173)
Jawaban toka-toki di atas adalah salemo ‘selesma; pilek’. Selesma yang dimaksud di dalam toka-toki ini adalah selesma yang masih cair. Pada kondisi ini, selesma, lebih sering disebut ingus, akan keluar melalui kedua belah lubang hidung dengan perlahan-lahan. Pada anak-anak ketika cairan ingus itu keluar, spontan mereka menghirup kembali cairan itu. Akibatnya, cairan itu akan kembali ke lubang hidung dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan ketika turun.

2.3.3 Pertentangan dengan Penggunaan Kata Bukan ‘Bukan’ atau Indak ‘Tidak’
Di dalam masyarakat Kuantan Singingi juga terdapat teka-teki yang berbentuk pertentangan dengan menggunakan kata bukan ‘bukan’ dan indak; ndak ‘tidak’. Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kedua kata ini digunakan untuk pengingkaran atau negasi, yakni proses atau konstruksi yang mengungkapkan pertentangan isi makna suatu kalimat, dilakukan dengan penambahan kata ingkar pada kalimat (2003:378).

Toka-toki dengan mempergunakan kata bukan dan tidak ini cukup banyak ditemukan.

Baju putieh bukannyo dokter
Topi ijou bukan tentara

‘Baju putih bukannya dokter
Topi hijau bukan tentara’

Baju putih identik dengan orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan, termasuk orang yang berprofesi sebagai dokter. Keidentikan ini pulalah yang dipergunakan sebagai perbandingan di dalam toka-toki di atas, Baju putieh bukannyo dokter ‘Baju putih bukannya dokter’. Akan tetapi, keidentikan itu dibantah pula bahwa yang dimaksud di dalam toka-toki ini bukan dokter. Namun dari kalimat ini diketahui bahwa yang ditanyakan itu adalah sesuatu yang bagian “badan”nya mempunyai warna putih. Bagian “badan” diperkirakan berwarna putih karena penggunaan kata baju. Hal serupa terlihat pada kalimat selanjutnya. Pada umumnya di Indonesia topi yang dipakai oleh tentara berwarna hijau, seperti dalam lanjutan dari teka-teki ini, yaitu Topi ijou bukan tentara ‘Topi hijau bukan tentara’. Akan tetapi, kembali terlihat adanya penidakan dengan penggunaan kata bukan. Dengan demikian, keidentikan tadi kembali terbantahkan sebagai jawaban dari teka-teki ini. Namun, kembali didapat informasi tambahan bahwa bagian atas, yang disebutkan di dalam teka-teki dengan kiasan topi, berwarna hijau. Kondisi ini merujuk pada toge ‘tauge’ yang menjadi jawaban dari teka-teki ini. Keidentikan warna tertentu terhadap profesi tertentu masih dipergunakan di dalam teka-teki tersebut.

Lantai ndak ado
Atok ndak ado
Apo ru?

‘Lantai tidak ada
Atap tidak ada
Apa itu?’

Pengandaian yang digunakan di dalam teka-teki ini hampir sama dengan teka-teki sebelumnya. Hanya saja kata dinding tidak disebutkan secara eksplisit, walaupun secara implisit kata ini tetap ada. Pada toka-toki sebelumnya penidakan tidak terdapat pada baris pertama dan kedua, tetapi di dalam toka-toki ini, penidakan dengan kata ndak ‘tidak’ terkandung pada kedua baris itu.
Benda yang tidak mempunyai lantai dan atap itu adalah kain saruang ‘kain sarung’. Kain sarung ini tidak mempunyai bagian bawah, yang dianggap sebagai lantai, dan bagian atas, yang dianggap sebagai atap. Kedua bagian ini sengaja tidak dijahit sehingga badan dan kaki dapat masuk sehingga kain dapat dipergunakan.

2.4 Toka-toki Berbentuk Homonim
Homonim adalah ‘kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan (KBBI, 2002:407). Bentuk homonim ini digunakan si pembuat toka-toki untuk membingungkan si penerka. Walaupun terbatas, teka-teki jenis ini dapat dijumpai pada toka-toki Kuantan Singingi.

Kalau awak nak batanak nasi
Apo awak jarangan dek dulu?
Apo ru?

‘Kalau kita mau menanak nasi
Apa (yang) kita jarangan dahulu?
Apa itu?’

Kalimat pertama pada teka-teki di atas merupakan kalimat yang mengandung situasi yang hendak dipertanyakan. Kalimat tersebut disusul kalimat kedua yang.di dalamnya terdapat kata jarangan yang dapat menyesatkan bagi si penerka. Si penerka yang tidak cermat akan langsung memahami teka-teki tersebut dengan pertanyaan ‘apa yang kita jerangkan terlebih dahulu kalau kita menanak nasi’. Dengan pertanyaan demikian, jawaban yang diajukan adalah air. Namun bukan jawaban itu yang dikehendaki, tetapi jawaban katiak ‘ ketiak’.

Hal itu terjadi karena jarangan yang dimaksud bukan jerangkan, tetapi jarangkan yang di dalam beberapa bahasa Melayu dialek Kuantan Singingi, kedua kata ini dilafalkan jarangan. Jadi, kalau kita hendak memasak nasi yang harus dijarangkan terlebih dahulu adalah ketiak karena kalau tidak, orang akan kesulitan melakukan pekerjaan tersebut.

2.5 Toka-toki Seolah Cabul (Pretended Obscene)
Teka-teki seolah-olah cabul (pretended obscene) adalah teka-teki yang pernyataan atau pertanyaan dari teka-teki tersebut mengisyaratkan bahwa jawabannya cabul. Akan tetapi, ternyata jawaban teka-teki tersebut tidak cabul. Teka-teki jenis ini juga terdapat di dalam toka-toki Kuantan Singingi. Perhatikan contoh berikut.

Baradu bulu samo bulu, ilang akal. Apo rie?
‘Beradu bulu sama bulu, hilang akal. Apa itu?’

(Hamidy, 1995:172)
Memperhatikan teka-teki di atas, membuat orang yang mendengar atau membacanya berpikir mengenai sesuatu hal yang cabul. Pertanyaan atau referen teka-teki di atas, yang menyebutkan kata bulu seperti dalam kalimat Baradu bulu samo bulu, membuat orang yang mendengarnya, berpikir tentang bulu pada alat kelamin laki-laki dan perempuan. Bulu-bulu tersebut beradu ketika sedang melakukan hubungan badan. Imajinasi mengenai hal tersebut semakin kuat dengan penambahan pernyataan selanjutnya, yaitu ilang akal. Pendengar menganggap orang yang sedang melakukan hubungan badan akan hilang akal karena kenikmatan yang ditimbulkan dari hubungan tersebut.

Namun ternyata jawaban yang diajukan penutur teka-teki bukan seperti yang disangka oleh pendengar. Bulu-bulu yang beradu itu dimaksudkan untuk bulu mata bagian atas dan bagian bawah yang apabila mata dipejamkan, akan beradu, bertaut. Kalimat ilang akal ‘hilang akal’ diartikan untuk orang yang tidur. Jadi, Baradu bulu samo bulu, ilang akal ‘Beradu bulu sama bulu, hilang akal’ berarti orang yang tertidur sehingga kedua bulu matanya bertaut.

Teka-teki yang seolah-olah cabul ini terdapat pula pada contoh berikut.

Masuakkan deen ka kamar golok
Perkosa deen sampai badarah
Siapo den?

‘Masukkan saya ke kamar gelap
Perkosa saya sampai berdarah
Siapa saya?’

Penggunaan kalimat Masuakkan deen ka kamar golok sudah menciptakan imajinasi cabul ke dalam pikiran pendengar teka-teki tersebut. Apalagi ketika kalimat itu disambung dengan kalimat lain, perkosa deen sampai badarah, yang memperjelas imajinasi yang terbentuk di pikiran pendengar. Akan tetapi, jawaban yang disebutkan penutur ternyata tidak bersinggungan dengan imajinasi cabul yang ada di pikiran pendengar karena jawaban dari teka-teki tersebut adalah urang makan sirih ‘orang makan sirih’.

Jawaban ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang yang makan sirih akan memasukkan sirih ke mulutnya. Memasukkan sirih inilah yang digambarkan dengan kalimat Masuakan deen ka kamar golok. Setelah itu, sirih ini dikunyah sampai halus. Sirih yang dikunyah ini akan menghasilkan cairan berwarna merah, layaknya warna darah. Peristiwa tersebut digambarkan layaknya orang yang diperkosa sehingga muncul kalimat perkosa deen sampai badarah.
Untuk beberapa teka-teki jenis ini, ada kesan teka-teki tersebut dibuat memang bermaksud mengemukakan sesuatu yang cabul. Akan tetapi, biasanya penanya teka-teki tidak mau mengakuinya.

2.6 Toka-toki Bentuk Berpasangan
Di dalam masyarakat Kuantan Singingi, terdapat teka-teki yang pertanyaanya memperlihatkan adanya bentuk berpasangan. Bentuk berpasangan yang dimaksud dapat terlihat langsung di dalam pertanyaan teka-teki, tetapi ada pula yang bersifat tidak langsung. Di dalam beberapa teka-teki di bawah ini, bentuk berpasangan ini dapat terlihat.

Induak manyuruak juo, anak baciciran
‘Induk menyuruk jua, anak berceceran’
(Hamidy, 1995:173)
Di dalam teka-teki di atas terlihat bentuk berpasangan antara kata induk dengan anak. Jawabannya pun, yaitu panjaik ‘jarum jahit’ memperlihatkan adanya bentuk berpasangan ini.

Induak manyuruak juo ‘Induk menyuruk jua’ merujuk pada aktivitas panjaik ketika menjahit. Jarum jahit di dalam konteks ini merujuk pada alat untuk menjahit, yaitu jarum jahit atau jarum tangan. Jarum jahit ini akan terlihat seperti menyuruk ketika menjahit. Jarum ini akan timbul tenggelam dalam lipatan kain yang sedang dijahit.

Pada kain yang sudah dijahit akan terlihat “jejak” jarum tangan tersebut yang terbuat dari benang. “Jejak-jejak” jarum tangan ini diibaratkan seolah-olah anak-anak jarum yang berceceran. Keadaan ini digunakan untuk membuat teka-teki dengan pertanyaan kedua, anak baciciran ‘anak berceceran’.

2.7 Toka-toki Berbentuk Pendeskripsian Benda
Bentuk lain dari teka-teki yang ada di Kuantan Singingi adalah teka-teki yang berbentuk pendeskripsian benda. Di dalam bentuk ini, teka-teki berisi pendeskripsian atau pelukisan benda yang hendak dipertanyakan. Pendeskripsian dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung. Berikut ini teka-teki yang di dalamnya terdapat pendeskripsian bersifat langsung.

Panjang, babulu, lomak dimaken
‘Panjang, berbulu, enak dimakan’

Ciri panjang dan babulu ‘berbulu’ yang disebutkan di awal tidak membuat orang mampu menjawab teka-teki ini. Apa yang dimaksud si penanya masih sangat samar. Justru ciri selanjutnya, yaitu lomak dimaken ‘enak dimakan’ membuat orang berpikir bahwa jawaban teka-teki ini berbentuk makanan. Makanan yang mempunyai ciri berbentuk panjang dan berbulu akan merujuk pada buah jaguang ‘jagung’ yang menjadi jawaban dari teka-teki ini.

Pendeskripsian benda yang bersifat tidak langsung terlihat pada teka-teki di bawah ini. Teka-teki ini bersifat lebih kompleks, disebabkan semua kalimat yang digunakan untuk mendeskripsikan benda yang ditanyakan di dalam teka-teki ini bersifat metaforis.

Bapaknyo marokok
Omaknyo manjaik
Anaknyo manangi

‘Bapaknya merokok
Emaknya menjahit
Anaknya menangis’

Jawaban teka-teki tersebut adalah kareta api ‘kereta api’. Kalimat pertama Bapaknyo marokok ‘bapaknya merokok’ mendeskripsikan lokomotif kereta api yang mengeluarkan asap. Kalimat kedua Omaknyo manjaik ‘emaknya menjahit’ mendeskripsikan ciri roda kereta api yang seperti suara mesin jahit. Adapun kalimat terakhir anaknyo manangi ‘anaknya menangis’ merupakan deskripsi dari suara peluit kereta api yang digambarkan seperti orang sedang menangis. Dari deskripsi kereta api tersebut terlihat bahwa kereta api yang dimaksud adalah kereta api zaman dahulu yang mempunyai ciri menggunakan bahan bakar kayu atau batu bara sehingga mengeluarkan asap di cerobongnya, roda-rodanya mengeluarkan bunyi khas tertentu, dan dengan bunyi peluit yang “menyayat”.

2.8 Toka-toki Berisi Jawaban
Teka-teki diciptakan untuk dipertanyakan kepada orang lain. Supaya orang yang ditanyai mendapatkan kesulitan mencari jawabannya, teka-teki itu dibuat sesulit mungkin. Biasanya adalah hal yang tidak mungkin jika si penanya teka-teki memberikan jawabannya, sebelum si penjawab menyerah kalah.

Putui, putui baule
putui, putui baule
ciik, obe dek kalien!

‘Putus, putus disambung
putus, putus disambung
cirit, tahu kalian!’

Sepintas lalu tidak ada yang aneh dengan teka-teki di atas. Akan tetapi, apabila disebutkan bahwa jawaban teka-teki di atas adalah cirik ‘cirit’, barulah disadari jawaban tersebut ada di dalam teka-teki tersebut.

Sebagian besar orang tidak akan mengetahui bahwa si penanya sudah menyebutkan jawabannya. Kalimat terakhir, ciik, obe dek kalien! ‘cirit, tahu kalian!’, tidak diartikan sebagai petunjuk untuk menjawab teka-teki tersebut. Di dalam masyarakat Kuantan Singingi, ungkapan ciik, obe dek kalien! ‘cirit, tahu kalian!’ merupakan ungkapan untuk merendahkan kemampuan lawan bicara. Di dalam situasi berteka-teki, si penjawab teka-teki dianggap tidak akan mampu menjawab teka-teki yang diajukan padanya. Namun demikian, ungkapan ini tidak boleh dipergunakan secara sembarangan kepada orang yang lebih tua atau yang tidak terlalu akrab dengan si pembicara karena dapat dianggap tidak sopan atau kurang ajar.

2.9 Toka-toki Berbentuk Prosa atau Cerita
Dibandingkan dengan bentuk pertanyaan pendek, toka-toki Kuantan Singingi yang mempunyai bentuk prosa tidak banyak. Teka-teki dalam bentuk ini bersifat narasi. Di dalamnya menceritakan sesuatu yang hendak ditanyakan dengan lebih rinci dibandingkan dengan teka-teki yang berbentuk lain.

Si bulek poi marantau
Ontah kan baliek ontah kan tidak
Urang malope basonang hati
Urang ngan manarimo basodiah hati

‘Si bulat pergi merantau
Entah kan balik entah kan tidak
Orang melepas bersenang hati
Orang menerima bersedih hati’

Teka-teki di atas mempunyai jawaban bom yang ditembakkan. Untuk jawaban tersebut, terlebih dahulu pencipta teka-teki membuat suatu cerita mengenai benda yang dimaksudkannya itu. Di dalam teka-teki ini, bom yang dimaksudkan adalah bom yang ditembakkan dari sebuah meriam. Bom seperti ini berbentuk bulat, seperti yang diungkap di dalam teka-teki dengan istilah si bulek. Setelah itu, benda tersebut diceritakan pergi merantau, poi marantau. Pengertian ini tentu saja bersifat metaforis. Sebagai keterangan tambahan, disebutkan bahwa kepergian si bulek itu tidak diketahui apakah akan kembali atau tidak. Kalimat selanjutnya, urang malope basonang hati, mengandung ironi karena biasanya perpisahan akan mengundang kesedihan. Akan tetapi, di dalam kalimat di atas justru sebaliknya. Hal tersebut dipertegas pula dengan kalimat sesudahnya, urang ngan manarimo basodiah hati. Di dalam kalimat tersebut dinyatakan justru orang yang menerima yang bersedih hati. Hal tersebut tentu saja dapat dimaklumi karena ledakan bom dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian.

Teka-teki lain yang berbentuk prosa ini adalah sebagai berikut.
Ado batang limau, buah lobek padek. Awak nak maambik tapi ado boruak godang di situ. Baapo caro ngambik?

‘Ada pohon limau, buahnya sangat lebat. Kita mau mengambil, tapi ada beruk besar di situ. Bagaimana cara mengambilnya?

Berbeda dengan teka-teki sebelumnya, teka-teki ini tidak bersifat metaforis. Jadi kita tidak perlu mencari makna tersirat mengenai apa yang disebutkan di dalam cerita tersebut. Teka-teki di atas disampaikan melalui sebuah cerita mengenai keberadaan sebuah pohon limau yang berbuah lebat. Kemudian dipertanyakan bahwa kalau kita ingin mengambil limau itu, apa yang harus dilakukan. Teka-teki ini tidak akan disebut teka-teki kalau tidak diungkapkan kendala untuk mengambil limau tersebut. Kendala yang dikemukakan adalah adanya seekor beruk besar di pohon tersebut. Biasanya, toka-toki ini akan dibumbui dengan cerita bahwa limau itu sangat manis dan enak rasanya atau beruk yang berada di pohon itu sangatlah buas.
Teka-teki tersebut terlihat seperti sebuah gurauan saja. Akan tetapi, sesungguhnya dituntut kecerdasan si penjawab untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan terasa logis. Berbagai jawaban akan bermunculan dari para penerka teka-teki ini. Akan tetapi, jawaban dari teka-teki ini adalah ciak-ciakan dan cibir-cibirkan boruak tu. Lalu awak malantingkan batu kek enyo. Beko awak kan dilantiang dengan limau. Awak tinggal nyambuik limau tu lei ‘goda-goda, cibir-cibirkan, dan buat marah beruk itu. Lalu kita lemparkan batu ke arah beruk itu. Nanti kita dilempar dengan limau. Kita tinggal menyambut limau yang dilemparkan itu.’

Jawaban tersebut sepintas lalu tidak masuk akal. Akan tetapi, jawaban tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Beruk adalah binatang yang suka meniru sikap manusia. Kalau kita mencibir ke arahnya, dia akan balik mencibir kita. Kalau kita melempar ke arahnya, dia juga akan melempar kita. Dalam kondisi beruk itu kesal atau marah, maka benda-benda yang ada di dekatnya akan dijadikan alat untuk melempar kita. Dengan adanya banyak buah limau di sekelilingnya, maka buah tersebutlah yang dijadikan alat lempar oleh si beruk.

Ado limau mani di dalam lubang. Lubang tu kenek tapi dalom. Tangan awak ndak sampai manjangkau limau tu. Baapo caro maambiaknyo?

‘Ada limau manis di dalam lubang. Lubang itu kecil, tapi dalam. Tangan kita tidak sampai menjangkau limau itu. Bagaimana cara mengambilnya?’

Sama dengan teka-teki sebelumnya, diperlukan pemikiran yang cerdas untuk menjawab teka-teki ini. Lubang yang kecil dan dalam membuat membuat upaya pengambilan limau itu menjadi sulit. Akan tetapi, kalau kita mengetahui bahwa limau mengambang di atas air, maka dengan mudah kita akan dapat menjawab teka-teki ini. Jadi, cara mengambil limau itu adalah dengan memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam lubang tersebut. Setelah penuh, limau itu akan terangkat ke permukaan lubang dengan sendirinya. Dengan demikian, kita dapat mengambilnya dengan mudah.

4. Simpulan

Teka-teki Kuantan Singingi dapat dibagi atas teka-teki berbentuk pengulangan, yaitu pengulangan bunyi, pengulangan kata di awal dan di akhir kalimat. Untuk teka-teki yang terdiri atas dua kalimat dengan bentuk pengulangan kata di awal kalimat diketahui bahwa jawaban pertanyaan kedua teka-teki tersebut merupakan perulangan dari pertanyaan pertama. Bentuk lain teka-teki Kuantan Singingi adalah permainan kata-kata, berbentuk pertentangan, yaitu pertentangan dengan kata atau pernyataan sebelumnya: pertentangan langsung dan pertentangan tidak langsung, pertentangan dengan realitas atau pandangan dan kebiasaan umum, pertentangan dengan penggunaan kata bukan ‘bukan’ atau indak; ndak ‘tidak’, teka-teki berbentuk homonim, teka-teki seolah cabul (pretended obscene), teka-teki bentuk berpasangan, teka-teki berbentuk pendeskripsian benda, teka-teki berisi jawaban, dan teka-teki berbentuk prosa atau cerita.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1995. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng. dll. Jakarta: Grafiti.

Hamidy, U.U. 1995. Kamus Antropologi Rantau Kuantan. Pekanbaru: Unri Press.

---------------. 2001. Kearifan Puak Melayu Riau Memelihara Lingkungan Hidup. Pekanbaru: UIR Press.

Hasan, Alwi dkk.. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahman, Abdul Shaharussin Inon. 1988. Teka-teki Warisan. Kuala Lumpur: Teks Publishing Sdn. Bhd.

Syarif, Zalila dan Jamila Haji Ahmad.1993. Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa: Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu