Burung Taktum yang Sombong
Pagi di hutan yang lebat itu sangat cerah. Matahari menampakkan sinarnya. Sisa-sisa embun tadi malam masih menempel di dedaunan. Penghuni-penghuni hutan itu bangun dengan hati yang riang. Burung-burung bernyanyi dan berloncatan dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lain.
Hanya ada seekor burung yang terlihat murung. Dia bertengger pada sebuah ranting pohon yang tertutup sebuah daun lebar. Dia seakan hendak bersembunyi di situ. Burung itu bernama Taktum. Tubuhnya kecil dan tidak ditumbuhi sehelai bulupun. Suaranya pun tidak merdu. Hal itulah yang membuatnya sangat sedih. Dia malu memperlihatkan diri pada burung-burung lain, sesama penghuni hutan. Oleh karena itu, dia lebih sering sendirian dan tidak mau bergaul dengan burung-burung lain.
Melihat keadaan burung Taktum itu, burung Merpati menjadi sangat kasihan. Dia ingin menolong burung Taktum, tetapi dia tidak tahu caranya. Dia pun berpikir keras. “Ah, aku akan menanyakan ini kepada burung Hantu. Dia burung yang bijaksana. Aku yakin, dia akan menemukan caranya,” pikir burung Merpati.
Lalu burung Merpati mencari burung Hantu ke sarangnya di sebuah lubang pohon. Sesampainya di pohon itu, dia pun memanggil-manggil burung hantu.
“Selamat pagi, burung Hantu. Saya Merpati ingin bertemu,” katanya.
Seekor burung memperlihatkan kepalanya di celah lubang pohon tempat tinggalnya. Matanya tampak masih mengantuk karena semalaman dia berkeliling hutan untuk mencari makanan.
“Ah, Merpati. Apa yang membuatmu datang ke tempat saya pagi-pagi begini?” tanya burung hantu.
“Maaf telah menganggumu, tapi saya ingin mendengarkan pendapatmu tentang masalah ini,” kata burung Merpati.
“Masalah apa, Merpati?” tanya burung Hantu sambil mendekati burung Merpati.
“Saya sedih melihat burung Taktum yang selalu menyendiri. Dia tidak mau berteman dengan burung-burung lain. Tampaknya dia malu dengan keadaan dirinya,” jawab burung Merpati.
Burung Hantu mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya, kita harus membantu burung Taktum,” kata burung Hantu.
“Itulah maksud saya mendatangimu,” sahut burung Merpati.
Burung Hantu terdiam. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membantu burung Taktum. Matanya berkerjap-kerjap.
“Ah, aku tahu caranya,” tiba-tiba burung Hantu berteriak senang.
Burung Merpati yang mendengar hal itu ikut senang,” Ya, bagaimana caranya?” kata burung Merpati ingin tahu.
“Besok kita kumpulkan semua burung. Kita akan bermusyawarah. Aku akan meminta mereka untuk memberikan sehelai bulu mereka kepada burung Taktum,” kata burung Hantu menjelaskan idenya kepada burung Merpati.
“Ide yang bagus! Hari ini akan aku menyampaikan undangan untuk berkumpul esok hari,” kata burung Merpati bersemangat.
“Mudah-mudahan, burung-burung lain akan menyetujui usulanku ini,“ doa burung Hantu.
“Ya, saya harap begitu,” sambut burung Merpati.
Keesokan harinya, satu per satu burung-burung itu berdatangan ke sebuah pohon beringin besar yang tumbuh di hutan itu. Lama-kelamaan kian banyak sehingga ranting pohon beringin itu dipenuhi burung-burung yang bertengger di sana. Suara kicau mereka terdengar ke seluruh penjuru hutan.
Burung Taktum memandang hal itu dengan sedih. “Mengapa mereka tidak mengundangku?” tanya burung Taktum di dalam hati. Hatinya semakin sedih. Perlahan air mata menetes dari kedua matanya.
Sementara itu, burung Hantu pun mulai membuka pertemuan para burung itu. “Burung-burung yang saya hormati. Hari ini saya dan burung Merpati mengundang saudara-saudara untuk membicarakan nasib salah seorang teman kita, yaitu burung Taktum. Teman kita itu sangat sedih karena tidak mempunyai bulu. Dia menjadi rendah diri dan tidak mau bergaul dengan kita semua.”
Burung-burung mendengarkan perkataan burung Hantu itu dengan seksama. Tidak seekor burung pun yang bersuara.
“Oleh karena itu, sebagai teman kita harus menolong burung Taktum,” kata burung hantu menambahkan.
Burung-burung itu menganggukkan kepala. Mereka membenarkan perkataan burung Hantu.
“Lalu bagaimana caranya?” tanya burung Perkutut.
“Ya, bagaimana caranya?” tanya burung yang lain bersamaan.
“Begini, menurut saya, masing-masing kita memberikan sehelai bulu kepada burung Taktum,” jawab burung Hantu.
Burung-burung itu saling berpandangan.
“Kalau cuma sehelai bulu, aku tidak keberatan,” sahut burung Cenderawasih memecah kesunyian. Dia adalah burung yang mempunyai bulu yang sangat indah.
“Ya, aku juga mau memberikan buluku,” sambut burung Nuri yang memiliki bulu berwarna kuning berjambul merah.
“Dua helai pun aku mau,” kata burung Cucakrawa. Kemudian terdengar ramai suara burung-burung itu menyatakan persetujuannya terhadap rencana burung Hantu dan burung Merpati.
“Apa yang mereka bicarakan? Mengapa mereka tidak mengajakku?” Burung Taktum memandang tubuhnya yang tidak berbulu dengan sedih. “Andai aku mempunyai bulu dan suara yang bagus, tentu mereka tidak akan mengucilkanku seperti ini. Aku bisa membanggakan bulu atau suaraku,” pikir burung Taktum.
Malam harinya, burung Merpati dan burung Hantu datang ke sarang burung Taktum. Mereka menyampaikan keputusan musyawarah para burung.
“Jadi, masing-masing teman-teman hendak memberikan sehelai bulunya kepadamu,” kata burung Merpati.
“Ya, itupun kalau kamu tidak keberatan,” sahut burung Hantu ketika melihat burung Taktum ragu dengan rencana itu.
“Oh, tidak, tidak. Saya bukannya tidak mau. Hanya saja saya tidak menyangka teman-teman mau menolong saya,” jawab burung Taktum terharu.
“Kita semua berteman karena itu kita harus saling membantu, ” sahut burung Hantu lagi.
Hari itu burung-burung kembali berkumpul di pohon beringin besar itu. Mereka hendak menghadiahi sehelai bulu mereka untuk burung Taktum.
Burung pertama yang maju untuk memberikan bulunya adalah burung gagak. “Bulu saya memang tidak cantik, tetapi kamu dapat terbang tinggi dengan bulu ini,” kata burung Gagak.
“Terima kasih,” jawab burung Taktum senang. Lalu dia menancapkan bulu berwarna hitam itu ke tubuhnya. Mukanya tampak berseri melihat tubuhnya kini mempunyai bulu.
Setelah itu, giliran burung Cenderawasih untuk memberikan bulunya. “Ini sehelai bulu ekorku untukmu,” katanya sambil menyerahkan sehelai bulu yang sangat cantik kepada burung Taktum.
Burung Taktum terkesima. Selama ini dia hanya bisa melihat bulu burung Cenderawasih yang cantik itu, tetapi sekarang dia juga mempunyainya. Dia lalu memasangkannya di bagian ekornya sambil mengucapkan terima kasih.
Bergantian burung-burung itu memberikan sehelai bulunya. Ada bulu yang berwarna merah, hijau, kuning, dan putih. Bulu-bulu itu ada yang polos, berbintik-bintik, dan berbagai motif lainnya. Indah sekali.
Burung Taktum pun menjelma menjadi burung yang sangat cantik. Di hutan itu, tidak ada yang menandingi kecantikan bulu-bulunya. Burung Taktum sangat senang ketika semua burung memuji kecantikan bulu-bulunya itu.
Namun, kecantikan itu membuat burung Taktum menjadi lupa diri. Dia menjadi sombong. Dia selalu membangga-banggakan bulunya yang bagus. Dia memamerkan keindahan bulu-bulunya itu dengan terbang ke seluruh pelosok hutan. Bahkan, sekarang dia tidak mau lagi berteman dengan burung-burung yang berbulu atau bersuara jelek. Hal itu membuat para burung menjadi kesal kepada Burung Taktum.
“Burung sombong,” kata burung Balam.
“Tidak tahu berterima kasih,” sahut burung Gagak.
Akhirnya burung-burung itu menemui Burung Hantu. “Kami tidak suka dengan kelakuan Burung Taktum yang sombong itu,” kata burung Pelatuk.
“Iya, dia merasa hanya dialah burung yang paling cantik,” sahut Burung Belibis.
“Ingin rasanya kupatuk dia,” sambung Burung Elang yang mempunyai paruh dan kuku yang tajam.
“Sabar-sabar,” sahut Burung Hantu kepada burung-burung yang sudah marah itu,”besok akan kutemui dia. Akan kutegur kelakuannya yang tidak baik itu.” janji burung Hantu.
Keesokan harinya burung Hantu menemui burung Taktum. Dia menegur burung Taktum yang sekarang berubah menjadi sombong.
“Apakah salah saya mengangumi kecantikan bulu-bulu saya ini? Bukankah benar, bulu saya yang paling cantik sehutan ini?” tanya burung Taktum kepada burung Hantu. Dia tidak terima dinasihati burung Hantu.
“Iya. Walaupun begitu, kamu tidak boleh menyombongkan diri. Apalagi kecantikan bulu-bulu itu adalah pemberian teman-temanmu itu,” kata burung Hantu mengingatkan.
“Oh, jadi setelah saya menjadi cantik seperti ini, mereka menyesal telah memberikan bulu-bulunya?” Burung Taktum tidak juga sadar dengan sikap sombongnya.
“Tidak. Tidak ada yang menyesali pemberian itu. Hanya saja kamu tidak boleh menghina teman-temanmu yang tidak mempunyai bulu sebagus kamu,” nasihat burung Hantu.
Namun kata-kata burung Hantu itu tidak juga membuat Burung Taktum sadar. Dia terus membanggakan kecantikan bulu-bulunya dengan terbang ke sana kemari sepanjang hutan. Hingga suatu hari terdengar teriakan burung Taktum dari kejauhan.
“Tolong-tolong, saya terkena perangkap,” teriaknya ketakutan.
Beberapa burung tidak menghiraukannya, “Biarkan saja, dia terperangkap,” kata mereka. Mereka masih kesal dengan kelakuan burung Taktum yang sombong. Akan tetapi, akhirnya mereka kasihan juga mendengar suara teriakan burung Taktum yang meminta pertolongan.
Mereka mendekatinya dan berusaha melepaskan perangkap itu. Akan tetapi, setelah berusaha sekian lama, perangkap itu tidak kunjung jua terlepas. Apalagi seorang manusia mulai terlihat dari kejauhan. Burung-burung itu terbang menjauh. Mereka takut ikut ditangkap oleh si penangkap burung itu.
“Ah, akhirnya dapat juga kau. Aku sudah lama mengincarmu,” sahut si penangkap burung itu senang. Dia mengambil burung Taktum dan memasukkannya ke dalam sangkar dan membawanya pergi.
Burung Taktum menangis tersedu-sedu. Dia menyesal telah menyombongkan diri dengan bulu-bulunya yang bagus dan cantik. Karena bulu-bulunya yang cantik, penangkap burung itu berusaha menjeratnya. Sekarang, dia harus hidup terkurung di dalam sebuah sangkar yang kecil dan tidak mempunyai teman.
Yogyakarta,12 September 2007
(cerita ini pernah diterbitkan di Radar Yogya)
Hanya ada seekor burung yang terlihat murung. Dia bertengger pada sebuah ranting pohon yang tertutup sebuah daun lebar. Dia seakan hendak bersembunyi di situ. Burung itu bernama Taktum. Tubuhnya kecil dan tidak ditumbuhi sehelai bulupun. Suaranya pun tidak merdu. Hal itulah yang membuatnya sangat sedih. Dia malu memperlihatkan diri pada burung-burung lain, sesama penghuni hutan. Oleh karena itu, dia lebih sering sendirian dan tidak mau bergaul dengan burung-burung lain.
Melihat keadaan burung Taktum itu, burung Merpati menjadi sangat kasihan. Dia ingin menolong burung Taktum, tetapi dia tidak tahu caranya. Dia pun berpikir keras. “Ah, aku akan menanyakan ini kepada burung Hantu. Dia burung yang bijaksana. Aku yakin, dia akan menemukan caranya,” pikir burung Merpati.
Lalu burung Merpati mencari burung Hantu ke sarangnya di sebuah lubang pohon. Sesampainya di pohon itu, dia pun memanggil-manggil burung hantu.
“Selamat pagi, burung Hantu. Saya Merpati ingin bertemu,” katanya.
Seekor burung memperlihatkan kepalanya di celah lubang pohon tempat tinggalnya. Matanya tampak masih mengantuk karena semalaman dia berkeliling hutan untuk mencari makanan.
“Ah, Merpati. Apa yang membuatmu datang ke tempat saya pagi-pagi begini?” tanya burung hantu.
“Maaf telah menganggumu, tapi saya ingin mendengarkan pendapatmu tentang masalah ini,” kata burung Merpati.
“Masalah apa, Merpati?” tanya burung Hantu sambil mendekati burung Merpati.
“Saya sedih melihat burung Taktum yang selalu menyendiri. Dia tidak mau berteman dengan burung-burung lain. Tampaknya dia malu dengan keadaan dirinya,” jawab burung Merpati.
Burung Hantu mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya, kita harus membantu burung Taktum,” kata burung Hantu.
“Itulah maksud saya mendatangimu,” sahut burung Merpati.
Burung Hantu terdiam. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membantu burung Taktum. Matanya berkerjap-kerjap.
“Ah, aku tahu caranya,” tiba-tiba burung Hantu berteriak senang.
Burung Merpati yang mendengar hal itu ikut senang,” Ya, bagaimana caranya?” kata burung Merpati ingin tahu.
“Besok kita kumpulkan semua burung. Kita akan bermusyawarah. Aku akan meminta mereka untuk memberikan sehelai bulu mereka kepada burung Taktum,” kata burung Hantu menjelaskan idenya kepada burung Merpati.
“Ide yang bagus! Hari ini akan aku menyampaikan undangan untuk berkumpul esok hari,” kata burung Merpati bersemangat.
“Mudah-mudahan, burung-burung lain akan menyetujui usulanku ini,“ doa burung Hantu.
“Ya, saya harap begitu,” sambut burung Merpati.
Keesokan harinya, satu per satu burung-burung itu berdatangan ke sebuah pohon beringin besar yang tumbuh di hutan itu. Lama-kelamaan kian banyak sehingga ranting pohon beringin itu dipenuhi burung-burung yang bertengger di sana. Suara kicau mereka terdengar ke seluruh penjuru hutan.
Burung Taktum memandang hal itu dengan sedih. “Mengapa mereka tidak mengundangku?” tanya burung Taktum di dalam hati. Hatinya semakin sedih. Perlahan air mata menetes dari kedua matanya.
Sementara itu, burung Hantu pun mulai membuka pertemuan para burung itu. “Burung-burung yang saya hormati. Hari ini saya dan burung Merpati mengundang saudara-saudara untuk membicarakan nasib salah seorang teman kita, yaitu burung Taktum. Teman kita itu sangat sedih karena tidak mempunyai bulu. Dia menjadi rendah diri dan tidak mau bergaul dengan kita semua.”
Burung-burung mendengarkan perkataan burung Hantu itu dengan seksama. Tidak seekor burung pun yang bersuara.
“Oleh karena itu, sebagai teman kita harus menolong burung Taktum,” kata burung hantu menambahkan.
Burung-burung itu menganggukkan kepala. Mereka membenarkan perkataan burung Hantu.
“Lalu bagaimana caranya?” tanya burung Perkutut.
“Ya, bagaimana caranya?” tanya burung yang lain bersamaan.
“Begini, menurut saya, masing-masing kita memberikan sehelai bulu kepada burung Taktum,” jawab burung Hantu.
Burung-burung itu saling berpandangan.
“Kalau cuma sehelai bulu, aku tidak keberatan,” sahut burung Cenderawasih memecah kesunyian. Dia adalah burung yang mempunyai bulu yang sangat indah.
“Ya, aku juga mau memberikan buluku,” sambut burung Nuri yang memiliki bulu berwarna kuning berjambul merah.
“Dua helai pun aku mau,” kata burung Cucakrawa. Kemudian terdengar ramai suara burung-burung itu menyatakan persetujuannya terhadap rencana burung Hantu dan burung Merpati.
“Apa yang mereka bicarakan? Mengapa mereka tidak mengajakku?” Burung Taktum memandang tubuhnya yang tidak berbulu dengan sedih. “Andai aku mempunyai bulu dan suara yang bagus, tentu mereka tidak akan mengucilkanku seperti ini. Aku bisa membanggakan bulu atau suaraku,” pikir burung Taktum.
Malam harinya, burung Merpati dan burung Hantu datang ke sarang burung Taktum. Mereka menyampaikan keputusan musyawarah para burung.
“Jadi, masing-masing teman-teman hendak memberikan sehelai bulunya kepadamu,” kata burung Merpati.
“Ya, itupun kalau kamu tidak keberatan,” sahut burung Hantu ketika melihat burung Taktum ragu dengan rencana itu.
“Oh, tidak, tidak. Saya bukannya tidak mau. Hanya saja saya tidak menyangka teman-teman mau menolong saya,” jawab burung Taktum terharu.
“Kita semua berteman karena itu kita harus saling membantu, ” sahut burung Hantu lagi.
Hari itu burung-burung kembali berkumpul di pohon beringin besar itu. Mereka hendak menghadiahi sehelai bulu mereka untuk burung Taktum.
Burung pertama yang maju untuk memberikan bulunya adalah burung gagak. “Bulu saya memang tidak cantik, tetapi kamu dapat terbang tinggi dengan bulu ini,” kata burung Gagak.
“Terima kasih,” jawab burung Taktum senang. Lalu dia menancapkan bulu berwarna hitam itu ke tubuhnya. Mukanya tampak berseri melihat tubuhnya kini mempunyai bulu.
Setelah itu, giliran burung Cenderawasih untuk memberikan bulunya. “Ini sehelai bulu ekorku untukmu,” katanya sambil menyerahkan sehelai bulu yang sangat cantik kepada burung Taktum.
Burung Taktum terkesima. Selama ini dia hanya bisa melihat bulu burung Cenderawasih yang cantik itu, tetapi sekarang dia juga mempunyainya. Dia lalu memasangkannya di bagian ekornya sambil mengucapkan terima kasih.
Bergantian burung-burung itu memberikan sehelai bulunya. Ada bulu yang berwarna merah, hijau, kuning, dan putih. Bulu-bulu itu ada yang polos, berbintik-bintik, dan berbagai motif lainnya. Indah sekali.
Burung Taktum pun menjelma menjadi burung yang sangat cantik. Di hutan itu, tidak ada yang menandingi kecantikan bulu-bulunya. Burung Taktum sangat senang ketika semua burung memuji kecantikan bulu-bulunya itu.
Namun, kecantikan itu membuat burung Taktum menjadi lupa diri. Dia menjadi sombong. Dia selalu membangga-banggakan bulunya yang bagus. Dia memamerkan keindahan bulu-bulunya itu dengan terbang ke seluruh pelosok hutan. Bahkan, sekarang dia tidak mau lagi berteman dengan burung-burung yang berbulu atau bersuara jelek. Hal itu membuat para burung menjadi kesal kepada Burung Taktum.
“Burung sombong,” kata burung Balam.
“Tidak tahu berterima kasih,” sahut burung Gagak.
Akhirnya burung-burung itu menemui Burung Hantu. “Kami tidak suka dengan kelakuan Burung Taktum yang sombong itu,” kata burung Pelatuk.
“Iya, dia merasa hanya dialah burung yang paling cantik,” sahut Burung Belibis.
“Ingin rasanya kupatuk dia,” sambung Burung Elang yang mempunyai paruh dan kuku yang tajam.
“Sabar-sabar,” sahut Burung Hantu kepada burung-burung yang sudah marah itu,”besok akan kutemui dia. Akan kutegur kelakuannya yang tidak baik itu.” janji burung Hantu.
Keesokan harinya burung Hantu menemui burung Taktum. Dia menegur burung Taktum yang sekarang berubah menjadi sombong.
“Apakah salah saya mengangumi kecantikan bulu-bulu saya ini? Bukankah benar, bulu saya yang paling cantik sehutan ini?” tanya burung Taktum kepada burung Hantu. Dia tidak terima dinasihati burung Hantu.
“Iya. Walaupun begitu, kamu tidak boleh menyombongkan diri. Apalagi kecantikan bulu-bulu itu adalah pemberian teman-temanmu itu,” kata burung Hantu mengingatkan.
“Oh, jadi setelah saya menjadi cantik seperti ini, mereka menyesal telah memberikan bulu-bulunya?” Burung Taktum tidak juga sadar dengan sikap sombongnya.
“Tidak. Tidak ada yang menyesali pemberian itu. Hanya saja kamu tidak boleh menghina teman-temanmu yang tidak mempunyai bulu sebagus kamu,” nasihat burung Hantu.
Namun kata-kata burung Hantu itu tidak juga membuat Burung Taktum sadar. Dia terus membanggakan kecantikan bulu-bulunya dengan terbang ke sana kemari sepanjang hutan. Hingga suatu hari terdengar teriakan burung Taktum dari kejauhan.
“Tolong-tolong, saya terkena perangkap,” teriaknya ketakutan.
Beberapa burung tidak menghiraukannya, “Biarkan saja, dia terperangkap,” kata mereka. Mereka masih kesal dengan kelakuan burung Taktum yang sombong. Akan tetapi, akhirnya mereka kasihan juga mendengar suara teriakan burung Taktum yang meminta pertolongan.
Mereka mendekatinya dan berusaha melepaskan perangkap itu. Akan tetapi, setelah berusaha sekian lama, perangkap itu tidak kunjung jua terlepas. Apalagi seorang manusia mulai terlihat dari kejauhan. Burung-burung itu terbang menjauh. Mereka takut ikut ditangkap oleh si penangkap burung itu.
“Ah, akhirnya dapat juga kau. Aku sudah lama mengincarmu,” sahut si penangkap burung itu senang. Dia mengambil burung Taktum dan memasukkannya ke dalam sangkar dan membawanya pergi.
Burung Taktum menangis tersedu-sedu. Dia menyesal telah menyombongkan diri dengan bulu-bulunya yang bagus dan cantik. Karena bulu-bulunya yang cantik, penangkap burung itu berusaha menjeratnya. Sekarang, dia harus hidup terkurung di dalam sebuah sangkar yang kecil dan tidak mempunyai teman.
Yogyakarta,12 September 2007
(cerita ini pernah diterbitkan di Radar Yogya)
Komentar
Posting Komentar