Pak Hurin

Di sebuah kampung, tinggallah seorang pemalas. Hurin namanya, tetapi semua orang memanggilnya Pak Hurin. Setiap hari kerjanya hanya tidur dan makan saja. Sudah tidak terbilang seringnya Mak Hurin, istrinya, meminta Pak Hurin untuk bekerja supaya kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mak Hurin merasa pendapatannya membantu di ladang orang tidaklah mencukupi. Akan tetapi, hal itu tidak pernah diacuhkan oleh Pak Hurin. Dia tetap saja dengan kebiasaannya.
Pada suatu ketika, di kampung Pak Hurin, tibalah saatnya orang membuka kebun. Untuk itu, mereka harus bekerja menebas semak-semak dan menebang pohon-pohon kayu di hutan. Di sanalah mereka akan menanam pohon getah. Biasanya, mereka juga akan menyisipi kebun getahnya dengan menanam padi, jagung, atau labu.
Seperti biasanya, Pak Hurin tidak berminat untuk ikut dengan penduduk kampung yang akan membuka kebun. Akan tetapi, setelah berkali-kali diminta oleh istrinya dan diajak oleh kawan-kawannya, akhirnya mau juga dia pergi. Mak Hurin sangat senang ketika tahu Pak Hurin mau bekerja membuat kebun di hutan. Dia membuatkannya makanan yang sedap sebagai bekal.
Sesampainya di hutan yang masih ditumbuhi pohon-pohon cukup tinggi, secara bersama-sama kawan-kawan Pak Hurin mulai menebang beberapa pohon yang diperuntukkan membuat rumah-rumah panggung. Rumah itu akan mereka gunakan untuk tempat mereka berteduh dan beristirahat selama mereka bekerja di kebun. Mereka bekerja dengan giat dan penuh semangat. Hanya Pak Hurin yang sebentar-sebentar berhenti bekerja dan duduk-duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Seringkali pula dia tertidur lelap. Seminggu kemudian rumah-rumah panggung mereka pun selesai.
Setelah itu, orang-orang mulai bekerja di kebun yang sudah mereka bagi-bagi sebelumnya. Mereka menebangi pohon-pohon yang tumbuh di areal kebun mereka masing-masing. Sementara Pak Hurin duduk di rumah panggung sambil merencanakan apa yang akan diperbuatnya pada kebun miliknya. Mula-mula direncanakannya untuk menebang pohon-pohon di sudut kebunnya.
“Sebaiknya aku mulai menebang dari sebelah timur,” kata Pak Hurin ketika dilihatnya di sebelah timur kebunnya terdapat sebuah pohon besar, ”hm…aku harus menebangnya dengan hati-hati supaya tidak mengenai kebun Tuk Somad,” katanya di dalam hati. Akan tetapi, kemudian Pak Hurin berubah pikiran. “Lebih baik dari sebelah selatan saja. Di sana ada sungai, kalau aku mulai menebas dari sana, tentu aku akan lebih mudah pergi ke sungai,” katanya lagi.
Pak Hurin masih sibuk dengan rencana-rencana di dalam pikirannya ketika perutnya mulai berbunyi, minta diisi.
“Ah, sudah tengah hari tampaknya,” katanya sambil memandang matahari yang sudah sepenggalah. Diambilnya makanan yang dibawanya dari rumah. Nasi yang dibungkus upih, yang terbuat dari pelepah bagian bawah daun pinang itu, dibukanya. Terciumlah bau harum dari bungkusan itu. Sambal belacan dan goreng ikan teri yang dibuat istrinya, menambah selera makan Pak Hurin. Dia pun makan dengan lahap. Sebentar saja, nasi dan sambal yang ada di dalam bungkusan itu habis tak bersisa. Selesai makan, upih itu dibuangnya ke samping rumah panggungnya.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat Pak Hurin yang kekenyangan merasa mengantuk. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah dengkurnya yang keras.
Petang hari, ketika kawan-kawannya akan pulang, mereka singgah di rumah panggung Pak Hurin. Dijumpainya Pak Hurin tengah terlelap tidur.
“Pak Hurin, oi, Pak Hurin,” panggil mereka berkali-kali. Setelah beberapa saat dipanggil, barulah Pak Hurin terbangun.
“Eh, sudah petangkah?” katanya sambil mengusap-usap matanya yang merah karena baru bangun tidur.
“Iya, Pak Hurin, cepatlah sedikit, nanti dah malam pula kita sampai di rumah,” kata mereka pada Pak Hurin.
Sampai di rumah, Mak Hurin menyambut kedatangan Pak Hurin dengan gembira. “Bapak tentu penat sekali. Pergilah mandi, Pak, setelah itu, kita makan,” kata Mak Hurin, ” saya sudah membuatkan sambal embacang, kesukaan bapak.”
Malam itu, setelah makan malam, Pak Hurin bercerita pada Mak Hurin. “Mak, aku berencana menanam padi di sela-sela pohon getah yang akan ditanam. Nanti kita tanam pula jagung dan labu, supaya kita bisa makan rebus jagung dan kolak labu,” katanya, ”nanti kalau masih banyak lebihnya, kau bisa menjualnya ke pasar.”
Mak Hurin tersenyum senang. Dia bersyukur pada Tuhan, Pak Hurin sudah tidak malas lagi dan mau bekerja keras. Dia berharap setelah ini mereka tidak akan hidup dalam kesusahan lagi.
Besoknya, pagi-pagi sekali, selesai salat Subuh, kawan-kawan Pak Hurin kembali mengajaknya pergi mengerjakan kebun yang belum selesai. Dengan perasaan malas Pak Hurin bangun dan berkemas. Terbayang olehnya, dia harus berjalan kaki dua jam lebih ke kebunnya. Belum lagi pacet yang kerap menempel di kulit dan menghisap darahnya. Teringat pula olehnya panas matahari yang menyengat ubun-ubun ketika dia berada di kebun nanti. Mengenang semua itu, ingin rasanya Pak Hurin tidur kembali, apalagi udara pagi ini terasa sangat dingin. Dengan setengah terpaksa, akhirnya Pak Hurin pergi juga, apalagi sudah sejak dari dini hari Mak Hurin bangun dan menyiapkan makanan dan air untuk bekalnya.
Sesampai di kebun, matahari sudah bersinar cerah. Pak Hurin duduk di rumah panggungnya. Dipandanginya kebunnya. Kemarin dia sudah memulainya dari timur, sekarang dia ingin beralih ke sebelah barat kebunnya. Ada pohon cempedak hutan di situ.
“Ah, pohon itu tidak usah kutebang. Nanti kalau berbuah bisa kupetik buahnya. Pasti sedap,” kata Pak Hurin berkhayal. Sudah terasa di lidah Pak Hurin sedapnya buah cempedak hutan.
“Hari ini kumulai saja dari semak-semak yang ada di sebelahnya. Aku tebas semak-semak itu, lalu kukumpulkan di….ah, ya, di sebelah sana saja. Kemudian kutebang pohon mati itu,” katanya memandang sebuah pohon yang sudah mati. “Pohon itu bisa kupotong-potong dan kubawa pulang untuk dijadikan kayu bakar, supaya Mak Hurin mudah memasak,” katanya lagi. Dia ingat kayu di bawah tungku Mak Hurin tinggal sedikit.
Begitulah kerja Pak Hurin setiap harinya. Dia selalu punya rencana yang muluk-muluk, tetapi tidak satu pun yang dikerjakannya. Kawan-kawan Pak Hurin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Pak Hurin yang selalu dijumpai tengah tertidur lelap ketika mereka akan pulang ke rumah. Sementara kawan-kawannya sudah hampir selesai membersihkan lahan perkebunan mereka.
Beberapa bulan kemudian, tibalah masanya untuk membakar semak-semak yang sudah ditebas dan pohon-pohon yang sudah ditebang itu. Ramailah orang pergi ke kebun masing-masing. Hari itu, mereka beramai-ramai membakar semak-semak dan sisa-sisa pohon kayu yang sudah ditebang di kebun mereka. Mereka bergembira karena sebentar lagi mereka dapat menanam kebun mereka. Rasa penat bekerja keras beberapa bulan ini terlupakan sudah.
Mak Hurin pun tidak ketinggalan. Dia ingin membantu Pak Hurin membakar semak-semak dan tunggul-tunggul pohon sehingga kemudian kebun mereka bisa ditanami.
Melihat orang-orang sibuk membakar, Pak Hurin pun tidak mau ketinggalan. Di kebunnya, dia ikut-ikutan membakar, seperti yang dilakukan kawan-kawannya. Hanya saja yang dapat dibakar adalah bungkus nasi yang selama ini ditumpuknya di sebelah rumah panggung karena tidak ada sebatang pohon pun yang sudah ditebang dan dapat dibakar olehnya.
“Mana kebun kita, Pak,” tanya Mak Hurin yang datang belakangan. Diperhatikannya pohon-pohon dan semak-semak di sekitar kebun itu masih tinggi. Yang terlihat cuma sebuah rumah panggung dan setumpuk tinggi bekas bungkus nasi Pak Hurin yang terbuat dari upih dan daun pisang. Dari tumpukan itu mengepul asap.
“Inilah kebun kita Mak,” kata Pak Hurin seperti tak bersalah.
Alangkah sedihnya hati Mak Hurin. Dia menyangka apa yang diceritakan Pak Hurin padanya setiap pulang dari kebun benar adanya. Akan tetapi, tampaknya hal itu hanya rencana-rencana yang tidak pernah dilakukan. Mak Hurin benar-benar sedih melihat kelakuan suaminya yang tidak juga berubah. Dia pulang dengan hati yang gundah.

(Cerita Pusaka dari Baserah, Kuantan Hilir, Kuantan Singingi, Riau)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu

Kamus Kecil Bahasa Melayu Dialek Kuantan Singingi (Huruf O dan P)

Legenda Pulau Halang