Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (Uli Kozok)

1. SEKILAS NASKAH-NASKAH KERINCI

Kerinci terletak di Provinsi Jambi. Di daerah ini tersimpan banyak naskah yang dianggap sebagai pusaka oleh masyarakat sehingga cukup terpelihara. Petrus Voorhoeve dalam Tambo Kerintji memuat 261 naskah Kerinci. Tiga naskah di antaranya (nomor 259, 260, dan 261) disimpan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional) dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Ke- 261 naskah tersebut dengan perincian sebagai berikut:
1.Dua puluh satu naskah dianggap tidak layak diteliti karena:

@ tidak ditemukan datanya (TK 76 dan 253)
@ “naskah” yang ada yang hanya cap saja (TK 46, 83, 210, 233, dan 247)
@ Nyaris tidak dapat dibaca sama sekali (TK 47, 48, 51, 52, 53, 71, 72, 255, dan 256)
@ “naskah” hanya berisi rajah (TK 166)
@ Cap perak (TK 29)
@ Sehelai kain dengan tulisan Jawa yang sudah tidak terbaca lagi (TK 225)
@ Kliping surat kabar berbahasa Perancis (TK 82)
@ Sebuah baju kaos dengan tulisan berbahasa Inggris (TK 89)

2. Dua ratus empat puluh naskah lainnya dianggap layak oleh Uli Kozok untuk dijadikan bahan penelitiannya.

Umumnya naskah-naskah Kerinci ditulis pada lima media, yaitu:
(1)Bambu, (2) Kulit kayu, (3) Daun lontar, (4) Tanduk, dan (5) kertas.

Akan tetapi, ada juga naskah yang ditulis pada media lain yang dianggap tidak media yang lazim di Kerinci, yaitu pada:
(1) daluang (naskah Tanjung Tanah, TK 214),
(2) tulang (naskah silsilah Depati Saliman, TK 119),
(3) kulit (sebuah teks berhuruf Jawi yang ditulis dengan tinta, TK 178), dan
(4) tapak gajah, sejenis tumbuhan, (sebuah teks sangat pendek dan tidak jelas isinya, TK 191).

Aksara yang digunakan pada naskah-naskah Kerinci adalah:
(1)aksara asli Kerinci yang disebut surat incung
(2)aksara jawi (Arab melayu); aksara Arab (Voorhoeve, 1970, tidak konsisten menggunakan istilah aksara Arab dan Arab Melayu)
(3)aksara antara “aksara Jawa Kuno” dan “aksara rencong” (Voorhoeve, 1970) atau aksara Malayu de Casparis, 1975:57) merujuk pada aksara pascapalawa

Beberapa naskah menggunakan beberapa aksara dan bahasa, seperti yang terlihat pada:
@ naskah TK 217, 218, 219, 220, 221, dan 222 (aksara Jawa lama, bahasa Melayu danbahasa Jawa)
@ naskah TK 61 dan 258 (beraksara Jawi dan surat incung)

Beberapa tulisan yang pernah mempublikasikan naskah-naskah Kerinci:
1. Kerintji Documents (Voorhoeve, 1970) di majalah BKI, nomor 126. Nomor 160 pada
daftar tersebut (sama dengan 214 di Tambo Kerinci) dia menyebutkan sebuah
naskah daluang dari Tanjung Tanah di Mendapo Seleman yang dilihatnya pada
9 April 1941. Voorhoeve mengatakan bahwa teks tersebut ada menyebutkan nama
Dharmasraya.
2. Tambo Kerintji (Voorhoeve)

2. NASKAH KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH

Koleksi naskah di Kerinci kebanyakan ditulis di Kerinci dan ditulis dalam Sebagian besar naskah-naskah tersebut ditulis pada ruas-ruas bambu, tanduk kerbau atau kambing. Selain itu, ada pula yang ditulis dalam huruf Jawi (Arab Melayu). Naskah-naskah ini berasal dari luar Kerinci, seperti dari Jambi dan Inderapura.
Sampai sekarang, naskah Melayu yang dianggap tertua adalah dua surat berhuruf Jawi bertanggal tahun 1521 dan 1522 M yang ditulis oleh Sutan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal. Naskah tersebut disimpan di arsip nasional Lisabon, Portugal.

Namun kemudian ditemukan Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang berasal dari Kerinci, yang sekarang termasuk wilayah Provinsi Jambi. Naskah ini ditulis pada daluang dengan aksara surat incung. Melalui tes karbon pada Rafter Radiokarbon Laboratory di Wellington, diperkirakan usia naskah ini sudah lebih dari 600 tahun.

Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dapat bertahan selama itu kemungkinan karena beberapa hal:
1. Cara penyimpanannya yang cukup baik, yaitu disimpan di loteng rumah, terbungkus kain dan dimasukkan ke dalam peti yang kokoh sehingga dianggap dapat mengurangi
perubahan suhu yang mendadak
2. Udara dingin di daerah Kerinci dan curah hujan yang relatif rendah dibandingkan
di daerah pesisir.
3. Naskah tersebut ditulis di daluang, sejenis kertas kulit kayu. Daluang akan
awet asal tidak diberi kanji.
Naskah ini ditemukan pertama kali oleh Petrus Voorhoeve pada tahun 1941 yang
pada saat itu menjadi taalambtenar (pegawai bahasa di zaman kolonial) untuk
bagian Sumatra. Voorhoeve berkunjung ke Kerinci pada April dan Juli 1941. Dia
mendata naskah-naskah Kerinci yang dianggap sebagai pusaka oleh orang Kerinci:
4. Naskah-naskah yang ditulis pada tanduk kerbau dan kambing dan ruas bambu yang
panjang yang menggunakan aksara surat incung, variasi surat ulu yang digunakan
di Kerinci, langsung disalin atau ditransliterasi.
5.Naskah-naskah yang ditulis pada kertas, daluang, kulit kayu, difoto, dan naskah
daun lontar disalin dengan teliti.

Di Kabanjahe, Sumatra Utara Voorhoeve mentransliterasi naskah-naskah tersebut dibantu oleh Abdulhamid, seorang guru sekolah dari Kerinci. Daftar ke-252 naskah tersebut diketik dalam 181 halaman dan diberi judul Tambo Kerinci. Tambo Kerinci disalin sebanyak enam buah lalu dikirim ke Batavia (Jakarta) dan Belanda. Pada saat itu Jepang menyerang Hindia Belanda sehingga salinan yang dikirim ke Baviaasch Genootschap (Lembaga Kebudayaan Indonesia) serta ke perpustakaan KITLV di Belanda tidak sampai. Salinan yang dikirim ke Kerinci ternyata sampai dan pada tahun 1975 ditemukan kembali oleh Watson, antropolog Inggris yang kemudian menyerahkannya ke Voorhoeve. Tambo Kerinci tersebut sekarang disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden Belanda dengan nomor inventaris D Or. 415. Voorhoeve menyadari bahwa naskah Tanjung Tanah merupakan naskah praIslam. Karena kesibukannya atau juga mungkin menganggap naskah tersebut sudah hilang pada masa revolusi, Voorhoeve tidak lagi meneliti naskah ini.

Naskah Tanjung Tanah ini ditemukan kembali oleh Uli Kozok, pada tahun 2002. dia sempat menyampaikan penemuannya ini pada simposium ke-8 Manassa di Jakarta. Uli Kozok menyimpulkan beberapa hal mengenai naskah Tanjung Tanah ini, yaitu:
1.Naskah ini berasal dari zaman praislam. Tidak ditemukan kata serapan bahasa Arab.
2.Maharaja Damasraya disebut dua kali dalam naskah Tanjung Tanah. Kerajaan Damasraya hanya disebut-sebut dalam sumber sejarah dari abad 13 dan 14. Hal
tersebut menjadi petunjuk kuat bahwa naskah ini ditulis sebelum abad ke-15.
3.Sebagian naskah berbahasa Melayu. Hanya bagian kata pengantar dan penutup yang berbahasa Sansekerta yang memuja raja Damasraya.
4.Pada naskah Tanjung Tanah selain terdapat teks beraksara pascapallawa, terdapat pula teks beraksara surat incung.
5. Naskah Tanjung Tanah memiliki penanggalan tahun saka, tetapi tidak terbaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu