Sosok Perempuan dalam Karya Sastra Riau
1. PENGANTAR
Karya sastra merupakan refleksi kehidupan atau refleksi keadaan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, sesungguhnya apabila ingin melihat fenomena yang ada di masyarakat, bagaimana pandangan, pikiran, dan keinginan masyarakat, kita dapat melihatnya di dalam karya sastra. Dapat kita kemukakan contoh ketika Riau diperlakukan tidak adil oleh pusat, berbagai karya mengenai “kepedihan” masyarakat Riau banyak menghiasi karya sastra pengarang Riau.
Salah satu masalah yang terungkap di dalam karya sastra adalah masalah gender. Sadar atau tidak, sejak kecil kita sudah dicekoki perbedaan jenis kelamin ini yang berakibat pada cara pandang kita terhadap hal itu. Ketika kecil, anak laki-laki yang menangis akan ditegur dengan kalimat “anak laki-laki kok nangis”. Kalimat itu berimplikasi bahwa laki-laki “haram” untuk menangis karena menangis adalah porsi perempuan. Laki-laki yang menangis akan dicap sebagai laki-laki yang cengeng, keperempuan-perempuanan alias banci. Porsi sifat perempuan ini akan ditambahi sederetan sifat seperti penakut, lemah, cengeng, perasa, cerewet, tidak logis, dan sebagainya. Selanjutnya, untuk perempuan sudah “disediakan” pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, mengurus suami dan rumah, dan lain-lain. Jadilah perempuan dikenal akrab dengan urusan dapur, sumur, dan kasur.
Dewasa ini perempuan sudah merambah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak domestik lagi. Sedikit demi sedikit pandangan terhadap perempuan juga kian positif. Akan tetapi, ternyata cap yang melekat pada perempuan tidak juga benar-benar hilang. Hal tersebut juga terlihat di dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang Riau.
Saya menemukan bias gender ini dalam tiga karya sastra pengarang Riau, yaitu cerpen “Lemparan Batu-Batu” (Taufik Ikram Jamil) dan Sebatang Ceri di Serambi (Fakhrunnas MA Jabbar) serta novel Nyanyian Batanghari (Hary B. Kori’un). Pemilihan ketiga karya ini selain terdapat bias gender di dalamnya, juga karena kumpulan cerpen dan novel itulah yang sempat saya bawa “merantau sementara” ke Yogyakarta.
Masalah gender atau disebut juga dengan istilah feminis gender atau feminis kultural membedakan psike laki-laki dan psike perempuan. Menurut Rosemary Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought (1998:223) di dalam feminis gender anak-laki-laki dan anak perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan dewasa dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas yang (1) merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuan dan (2) berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriakal.
2. BIAS GENDER DALAM KARYA SASTRA DI RIAU
Cerpen “Lemparan Batu-Batu” (Taufik Ikram Jamil) dan Sebatang Ceri di Serambi (Fakhrunnas MA Jabbar) serta novel Nyanyian Batanghari (Hary B. Kori’un) merupakan tiga cerita yang menampilkan tokoh perempuan dan kehidupannya. Berikut pembicaraan singkat mengenai hal itu.
2.1 “Lemparan Batu-Batu”
Cerpen ini mengetengahkan seorang tokoh laki-laki yang memutuskan untuk berhenti bekerja di sebuah perusahaan besar yang dianggapnya telah menghancurkan lingkungan masyarakat sekitarnya. Karena bertentangan dengan hati nuraninya, laki-laki itu dan keluarganya pun melarikan ke daerah lain. Hal itu dilakukannya karena takut dibunuh orang-orang perusahaan yang khawatir rahasia mereka terbongkar. Akan tetapi, di daerah asing itu dia tidak kunjung mendapat pekerjaan dan selalu mendapat lemparan-lemparan batu. Akhirnya istrinya Gayah, harus bekerja menjadi tukang cuci di rumah tetangganya. Dia pun sering mencereweti suaminya yang tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Gayah, si istri, digambarkan sebagai perempuan “kuat” penopang ekonomi keluarga. Dia sudah bekerja di luar rumah. Akan tetapi, pekerjaan yang “diberikan” kepada Gayah adalah tukang cuci, pekerjaan domestik yang “biasa” dilakukan perempuan di rumah. Di dalam cerpen ini terlihat adanya kebimbangan untuk mengekalkan strereotipe perempuan atau menghapuskannya. Di satu pihak, perempuan digambarkan sebagai sosok yang “kuat” (yang biasa dilekatkan pada laki-laki), tetapi di lain pihak pekerjaan yang diberikan kepada perempuan di luar rumah tetap saja dalam lingkup porsi perempuan, yaitu mencuci.
Bias gender lain yang terlihat di dalam cerpen ini adalah pemberian karakter terhadap tokoh Gayah. Gayah digambarkan sebagai perempuan yang cerewet dan emosional menghadapi suami yang pengangguran dan keadaan rumah tangga mereka yang serba kekurangan.
“Oi, Cik Abang. Di sini awak bersenang-lenang ya. Sedap betul...,” suara Gayah, istrinya, beriringan dengan gebrakan pintu.....”Pakai senyum-senyum, pakai nyanyi-nyanyi,” sambung Gayah. (HBB, 2005:33)
Pemberian karakter terhadap anak perempuan (Windi) dan laki-laki (Azman) pasangan ini pun berbeda. Azman diceritakan meng-helap (bahasa Taufik Ikram Jamil) ingusnya, sementara yang kebagian peran “merengek” adalah Windi, si anak perempuan. Perempuan memang tidak boleh jorok karena itu bagian dari “sifat” laki-laki. Perempuan harus bersih dan rapi. Adapun laki-laki tidak boleh cengeng; merengek karena itu merupakan sifat perempuan. Jadilah, Azman meng-helap ingus dan Windi merengek, bukan sebaliknya.
2.2 “Sebatang Ceri di Serambi”
“Sebatang Ceri di Serambi” menceritakan pertengkaran suami istri karena pohon ceri yang tumbuh di depan rumah mereka. Di dalam cerpen ini sudah ada upaya untuk keluar dari stereotipe laki-laki. Tokoh Aku digambarkan sebagai orang yang melankolis dalam hubungannya dengan sebatang ceri yang tumbuh di depan rumahnya. Dia beranggapan banyak kenangan kehidupan rumah tangga mereka yang disaksikan batang ceri tersebut dan daun-daunnya. Sifat seperti ini biasanya diberikan kepada perempuan, tetapi tidak di dalam cerpen ini.
Namun image seperti itu “dikalahkan” penceritaan lain mengenai peran perempuan yang justru dilakukan lebih verbal dan vulgar. Di dalam cerita tersebut, pengarang, melalui tokoh Aku, mengatakan peran perempuan yang tidak lepas dari dapur, sumur, dan kasur, seperti kutipan di bawah ini.
Namun, perasaan itu hanya kurasakan sendiri. Imah, perempuan yang banyak menghabiskan waktunya dari dapur ke sumur terus ke kasur –layaknya peranan istri- ternyata lebih merasakan dedaunan ceri yang gugur itu sebagai sampah yang memuakkan. (SCS, 2005:14)
Dengan demikian, pandangan bahwa perempuan itu adalah orang yang berperan di lingkungan domestik rumah tangga saja tetap tergambar jelas.
2.3 Nyanyian Batanghari
Di dalam novel Nyanyian Batanghari terdapat seorang tokoh perempuan bernama Katrin. Ayahnya pemilik sebuah perusahaan penerbitan koran tempat dia bekerja sebagai jurnalis.
Di lingkungan kerjanya, kehebatannya sering dikaitkan dengan bapaknya sebagai pemilik perusahaan, bukan karena kemampuannya secara personal. Selain itu, kemampuan jurnalistiknya juga diragukan. Keraguan itu bersumber dari kodratnya yang dilahirkan sebagai perempuan. Hal tersebut terlihat di dalam kutipan di bawah ini.
“...Ini bukan peliputan ringan dan medannya sangat berbeda, Katrin. Di sana banyak persoalan yang berkembang nantinya....Mungkin nanti juga akan muncul persoalan yang tidak terduga di lapangan. Kamu harus berpikir bijaksana sedikit. Masyarakat di sana sedang panas dan kamu perempuan...”
(NB, 2005:21)
Dari kutipan tersebut terdapat dua hal yang patut dicermati. Pertama, perempuan masih dianggap orang yang hanya pantas bekerja di rumah atau pekerjaan dalam wilayah domestik belaka. Akibatnya, ketika dia bekerja di luar pekerjan itu, kemampuannya diragukan. Kedua, perempuan dianggap orang yang tidak kuat dan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sulit dan berat tantangannya. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu dianggap hanya layak untuk laki-laki. Hal tersebut membuat perempuan tidak dipercaya untuk pekerjaan dengan kategori tersebut. Ketiga, perempuan dianggap tidak dapat berpikir bijaksana, walau barang sedikit. Bahkan dalam beberapa situasi, perempuan dianggap tidak rasional, perempuan “berpikir” dengan perasaannya, bukan dengan otaknya (pikirannya).
Sesungguhnya novel ini sudah mulai memunculkan tokoh perempuan yang berkiprah di luar rumah. Pekerjaan yang diberikan pun tidak lagi pekerjaan stereotipe perempuan. Akan tetapi, penggambaran perempuan yang lepas dari stereotipe yang berkembang di dalam masyarakat masih setengah hati. Hal tersebut terlihat dari keraguan terhadap kemampuan perempuan yang tetap mengemuka. Perempuan dapat mencapai sesuatu karena “belas kasihan” laki-laki, di dalam novel ini, ayah Katrin (paling tidak itulah yang ada di dalam pikiran tokoh-tokoh laki-laki di dalam novel ini). Kesan lain, perempuan adalah makhluk yang lemah dan harus dilindungi oleh laki-laki. Hal tersebut terlihat sebagai sikap yang mulia dari laki-laki. Akan tetapi, di sisi lain sikap tersebut dapat diartikan sebagai upaya mengerem kemajuan perempuan yang ingin keluar dari stereotipe yang diberikan oleh masyarakat padanya.
3. PENUTUP
Perempuan yang masih digambarkan dengan stereotipe tertentu di dalam karya sastra merupakan “bukti” bahwa pembedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat masih ada. Pembedaan tersebut tidak sekadar pembedaan jenis kelamin yang memang kodrati, tetapi juga pembedaan peran yang biasanya berkaitan dengan masalah sosial budaya.
Penggambaran perempuan dengan stereotipe tertentu di dalam karya sastra dapat merupakan upaya pengarang memotret kehidupan sosial; menyampaikan sesuatu masalah yang dilihatnya di dalam masyarakat. Tentu saja, idealnya pengarang memberikan “solusi” terhadap masalah itu. Dengan demikian, penggambaran stereotipe perempuan itu tidak justru membuat stereotipe itu menjadi “abadi” dan semakin tersebar luas di dalam masyarakat. Walaupun tidak semua orang setuju, karya sastra itu hendaknya memberikan manfaat bagi pembacanya. Semoga!
(tulisan ini pernah dimuat di Riau Pos)
Karya sastra merupakan refleksi kehidupan atau refleksi keadaan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, sesungguhnya apabila ingin melihat fenomena yang ada di masyarakat, bagaimana pandangan, pikiran, dan keinginan masyarakat, kita dapat melihatnya di dalam karya sastra. Dapat kita kemukakan contoh ketika Riau diperlakukan tidak adil oleh pusat, berbagai karya mengenai “kepedihan” masyarakat Riau banyak menghiasi karya sastra pengarang Riau.
Salah satu masalah yang terungkap di dalam karya sastra adalah masalah gender. Sadar atau tidak, sejak kecil kita sudah dicekoki perbedaan jenis kelamin ini yang berakibat pada cara pandang kita terhadap hal itu. Ketika kecil, anak laki-laki yang menangis akan ditegur dengan kalimat “anak laki-laki kok nangis”. Kalimat itu berimplikasi bahwa laki-laki “haram” untuk menangis karena menangis adalah porsi perempuan. Laki-laki yang menangis akan dicap sebagai laki-laki yang cengeng, keperempuan-perempuanan alias banci. Porsi sifat perempuan ini akan ditambahi sederetan sifat seperti penakut, lemah, cengeng, perasa, cerewet, tidak logis, dan sebagainya. Selanjutnya, untuk perempuan sudah “disediakan” pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, mengurus suami dan rumah, dan lain-lain. Jadilah perempuan dikenal akrab dengan urusan dapur, sumur, dan kasur.
Dewasa ini perempuan sudah merambah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak domestik lagi. Sedikit demi sedikit pandangan terhadap perempuan juga kian positif. Akan tetapi, ternyata cap yang melekat pada perempuan tidak juga benar-benar hilang. Hal tersebut juga terlihat di dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang Riau.
Saya menemukan bias gender ini dalam tiga karya sastra pengarang Riau, yaitu cerpen “Lemparan Batu-Batu” (Taufik Ikram Jamil) dan Sebatang Ceri di Serambi (Fakhrunnas MA Jabbar) serta novel Nyanyian Batanghari (Hary B. Kori’un). Pemilihan ketiga karya ini selain terdapat bias gender di dalamnya, juga karena kumpulan cerpen dan novel itulah yang sempat saya bawa “merantau sementara” ke Yogyakarta.
Masalah gender atau disebut juga dengan istilah feminis gender atau feminis kultural membedakan psike laki-laki dan psike perempuan. Menurut Rosemary Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought (1998:223) di dalam feminis gender anak-laki-laki dan anak perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan dewasa dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas yang (1) merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuan dan (2) berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriakal.
2. BIAS GENDER DALAM KARYA SASTRA DI RIAU
Cerpen “Lemparan Batu-Batu” (Taufik Ikram Jamil) dan Sebatang Ceri di Serambi (Fakhrunnas MA Jabbar) serta novel Nyanyian Batanghari (Hary B. Kori’un) merupakan tiga cerita yang menampilkan tokoh perempuan dan kehidupannya. Berikut pembicaraan singkat mengenai hal itu.
2.1 “Lemparan Batu-Batu”
Cerpen ini mengetengahkan seorang tokoh laki-laki yang memutuskan untuk berhenti bekerja di sebuah perusahaan besar yang dianggapnya telah menghancurkan lingkungan masyarakat sekitarnya. Karena bertentangan dengan hati nuraninya, laki-laki itu dan keluarganya pun melarikan ke daerah lain. Hal itu dilakukannya karena takut dibunuh orang-orang perusahaan yang khawatir rahasia mereka terbongkar. Akan tetapi, di daerah asing itu dia tidak kunjung mendapat pekerjaan dan selalu mendapat lemparan-lemparan batu. Akhirnya istrinya Gayah, harus bekerja menjadi tukang cuci di rumah tetangganya. Dia pun sering mencereweti suaminya yang tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Gayah, si istri, digambarkan sebagai perempuan “kuat” penopang ekonomi keluarga. Dia sudah bekerja di luar rumah. Akan tetapi, pekerjaan yang “diberikan” kepada Gayah adalah tukang cuci, pekerjaan domestik yang “biasa” dilakukan perempuan di rumah. Di dalam cerpen ini terlihat adanya kebimbangan untuk mengekalkan strereotipe perempuan atau menghapuskannya. Di satu pihak, perempuan digambarkan sebagai sosok yang “kuat” (yang biasa dilekatkan pada laki-laki), tetapi di lain pihak pekerjaan yang diberikan kepada perempuan di luar rumah tetap saja dalam lingkup porsi perempuan, yaitu mencuci.
Bias gender lain yang terlihat di dalam cerpen ini adalah pemberian karakter terhadap tokoh Gayah. Gayah digambarkan sebagai perempuan yang cerewet dan emosional menghadapi suami yang pengangguran dan keadaan rumah tangga mereka yang serba kekurangan.
“Oi, Cik Abang. Di sini awak bersenang-lenang ya. Sedap betul...,” suara Gayah, istrinya, beriringan dengan gebrakan pintu.....”Pakai senyum-senyum, pakai nyanyi-nyanyi,” sambung Gayah. (HBB, 2005:33)
Pemberian karakter terhadap anak perempuan (Windi) dan laki-laki (Azman) pasangan ini pun berbeda. Azman diceritakan meng-helap (bahasa Taufik Ikram Jamil) ingusnya, sementara yang kebagian peran “merengek” adalah Windi, si anak perempuan. Perempuan memang tidak boleh jorok karena itu bagian dari “sifat” laki-laki. Perempuan harus bersih dan rapi. Adapun laki-laki tidak boleh cengeng; merengek karena itu merupakan sifat perempuan. Jadilah, Azman meng-helap ingus dan Windi merengek, bukan sebaliknya.
2.2 “Sebatang Ceri di Serambi”
“Sebatang Ceri di Serambi” menceritakan pertengkaran suami istri karena pohon ceri yang tumbuh di depan rumah mereka. Di dalam cerpen ini sudah ada upaya untuk keluar dari stereotipe laki-laki. Tokoh Aku digambarkan sebagai orang yang melankolis dalam hubungannya dengan sebatang ceri yang tumbuh di depan rumahnya. Dia beranggapan banyak kenangan kehidupan rumah tangga mereka yang disaksikan batang ceri tersebut dan daun-daunnya. Sifat seperti ini biasanya diberikan kepada perempuan, tetapi tidak di dalam cerpen ini.
Namun image seperti itu “dikalahkan” penceritaan lain mengenai peran perempuan yang justru dilakukan lebih verbal dan vulgar. Di dalam cerita tersebut, pengarang, melalui tokoh Aku, mengatakan peran perempuan yang tidak lepas dari dapur, sumur, dan kasur, seperti kutipan di bawah ini.
Namun, perasaan itu hanya kurasakan sendiri. Imah, perempuan yang banyak menghabiskan waktunya dari dapur ke sumur terus ke kasur –layaknya peranan istri- ternyata lebih merasakan dedaunan ceri yang gugur itu sebagai sampah yang memuakkan. (SCS, 2005:14)
Dengan demikian, pandangan bahwa perempuan itu adalah orang yang berperan di lingkungan domestik rumah tangga saja tetap tergambar jelas.
2.3 Nyanyian Batanghari
Di dalam novel Nyanyian Batanghari terdapat seorang tokoh perempuan bernama Katrin. Ayahnya pemilik sebuah perusahaan penerbitan koran tempat dia bekerja sebagai jurnalis.
Di lingkungan kerjanya, kehebatannya sering dikaitkan dengan bapaknya sebagai pemilik perusahaan, bukan karena kemampuannya secara personal. Selain itu, kemampuan jurnalistiknya juga diragukan. Keraguan itu bersumber dari kodratnya yang dilahirkan sebagai perempuan. Hal tersebut terlihat di dalam kutipan di bawah ini.
“...Ini bukan peliputan ringan dan medannya sangat berbeda, Katrin. Di sana banyak persoalan yang berkembang nantinya....Mungkin nanti juga akan muncul persoalan yang tidak terduga di lapangan. Kamu harus berpikir bijaksana sedikit. Masyarakat di sana sedang panas dan kamu perempuan...”
(NB, 2005:21)
Dari kutipan tersebut terdapat dua hal yang patut dicermati. Pertama, perempuan masih dianggap orang yang hanya pantas bekerja di rumah atau pekerjaan dalam wilayah domestik belaka. Akibatnya, ketika dia bekerja di luar pekerjan itu, kemampuannya diragukan. Kedua, perempuan dianggap orang yang tidak kuat dan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sulit dan berat tantangannya. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu dianggap hanya layak untuk laki-laki. Hal tersebut membuat perempuan tidak dipercaya untuk pekerjaan dengan kategori tersebut. Ketiga, perempuan dianggap tidak dapat berpikir bijaksana, walau barang sedikit. Bahkan dalam beberapa situasi, perempuan dianggap tidak rasional, perempuan “berpikir” dengan perasaannya, bukan dengan otaknya (pikirannya).
Sesungguhnya novel ini sudah mulai memunculkan tokoh perempuan yang berkiprah di luar rumah. Pekerjaan yang diberikan pun tidak lagi pekerjaan stereotipe perempuan. Akan tetapi, penggambaran perempuan yang lepas dari stereotipe yang berkembang di dalam masyarakat masih setengah hati. Hal tersebut terlihat dari keraguan terhadap kemampuan perempuan yang tetap mengemuka. Perempuan dapat mencapai sesuatu karena “belas kasihan” laki-laki, di dalam novel ini, ayah Katrin (paling tidak itulah yang ada di dalam pikiran tokoh-tokoh laki-laki di dalam novel ini). Kesan lain, perempuan adalah makhluk yang lemah dan harus dilindungi oleh laki-laki. Hal tersebut terlihat sebagai sikap yang mulia dari laki-laki. Akan tetapi, di sisi lain sikap tersebut dapat diartikan sebagai upaya mengerem kemajuan perempuan yang ingin keluar dari stereotipe yang diberikan oleh masyarakat padanya.
3. PENUTUP
Perempuan yang masih digambarkan dengan stereotipe tertentu di dalam karya sastra merupakan “bukti” bahwa pembedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat masih ada. Pembedaan tersebut tidak sekadar pembedaan jenis kelamin yang memang kodrati, tetapi juga pembedaan peran yang biasanya berkaitan dengan masalah sosial budaya.
Penggambaran perempuan dengan stereotipe tertentu di dalam karya sastra dapat merupakan upaya pengarang memotret kehidupan sosial; menyampaikan sesuatu masalah yang dilihatnya di dalam masyarakat. Tentu saja, idealnya pengarang memberikan “solusi” terhadap masalah itu. Dengan demikian, penggambaran stereotipe perempuan itu tidak justru membuat stereotipe itu menjadi “abadi” dan semakin tersebar luas di dalam masyarakat. Walaupun tidak semua orang setuju, karya sastra itu hendaknya memberikan manfaat bagi pembacanya. Semoga!
(tulisan ini pernah dimuat di Riau Pos)
Komentar
Posting Komentar