Kerajaan Kandis - Kuantan (Bagian 2)




  Kamis, 25 Maret 2010 21:26 TIDAK diketahui secara pasti, berapa lama Kerajaan Kandis-Kuantan ini berdiri. Data yang ada sangat minim dan tidak mampu menjelaskan secara lebih detil mengenai kisah kerajaan ini. Namun ada informasi yang menyebutkan bahwa ketika Kuantan berdiri menggantikan Kandis, ibukota kerajaan yang semula di Padang Candi dipindahkan ke Sintuo, seberang Koto Telukkuantan sekarang ini.
Daerah kekuasaan Kerajaan Kandis-Kuantan lebih kurang meliputi daerah Kuantan sekarang ini, yaitu mulai dari hulu Batang Kuantan, negeri Lubuk Ambacang sampai ke Cerenti.

Negeri Kuantan disebut juga Rantau Nan Kurang Esa Dua puluh. Di setiap desa, ada tanah yang disebut tanah koto. Tanah koto ini adalah tanah perumahan yang menjadi milik bersama seluruh warga negeri. Setiap koto dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam pada tiga bagian sisinya, sedangkan satu sisi lain biasanya langsung berbatas dengan Batang (sungai) Kuantan.

Di koto ini, terdapat rumah adat milik suku. Sementara tanah untuk perladangan, padang penggembalaan (padang rumput) untuk ternak dan perkandangan terletak di luar koto. Setelah negeri berkembang dan menjadi ramai, banyak orang membuat rumah di tanah perladangan masing-masing. Dengan demikian, timbul banjar-banjar (dusun) baru. Semakin banyak penduduk suatu negeri, semakin banyak pula  banjarnya.
Dalam perkembangannya, penduduk asli yang awalnya berdiam jauh dari sungai Kuantan dan hidup dari perladangan kasang, kemudian pindah ke banjar-banjar yang baru didirikan tersebut dan membiasakan diri dalam perladangan padi pada tanah tetap.
Dalam setiap banjar, terdapat empat suku, karena itu, tanah koto kemudian dibagi menjadi empat bagian. Pada tiap-tiap suku terdapat empat orang pemangku adat, yaitu seorang penghulu sebagai kepala suku, seorang monti atau menti (menteri), seorang dubalang (hulubalang), dan seorang pegawai agama. Jadi, pemerintahan dalam suatu negeri di Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh terdiri dari enam belas orang, yang disebut dengan Orang Nan Enam Belas. Namun dalam rapat-rapat negeri, hanya penghulu saja yang berhak berbicara. Menti, Dubalang, dan pegawai agama hanya bertindak sebagai penasihat penghulu, yang hanya akan berbicara dalam rapat negeri atas permintaan penghulu masing-masing. Dalam rapat-rapat suku, ketiga orang pemuka adat tersebut memiliki kekuasaan dan hak yang sama dengan penghulu, karena masing-masing mengepalai atau mewakili sebagian dari suku.
Di koto terdapat balai penghulu yang dinamakan balai adat. Tempat tersebut merupakan tempat Penghulu Nan Berempat bersidang untuk memutuskan perkara-perkara, dan membicarakan kepentingan negeri keseluruhannya. Setelah agama Islam masuk, susunan pemerintahan seperti ini tetap dipertahankan. Oleh karena itu, hanya di koto-lah terdapat tempat orang melakukan salat Jumat dan salat hari raya. Memiliki balai dan masjid merupakan syarat mutlak bagi sebuah perkampungan agar dapat dipandang sebagai suatu negeri.
Di tiap-tiap banjar terdapat balai tua banjar, yaitu tempat keempat orang tua banjar bersidang membicarakan dan memutuskan perkara dan kepentingan banjar. Seorang tua banjar adalah wakil penghulu, tetapi tidak termasuk sebagai orang adat. Artinya, jabatannya tidak diwariskan menurut adat. Karena jumlah penghulu ada empat orang, maka tiap-tiap banjar pun memiliki empat orang tua banjar. Saat akan mengangkat orang tua banjar, penghulu harus berunding terlebih dulu dengan ketiga orang pemangku adat tersebut di atas.
Tiap-tiap negeri merupakan daerah otonom yang memiliki wewenang penuh, genting memutuskan, bebiang mencabiakkan. Artinya, memutuskan setiap masalah yang timbul dalam negeri. Pada mulanya di setiap negeri terdapat seorang gedang, seorang sekoto. Namun lama-kelamaan orang gedang seorang sekoto terdesak oleh adanya semangat demokrasi, sehingga fungsinya tidak lebih dari “orang tua” (penasihat penghulu) dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti dikatakan sebelumnya, dalam setiap negeri hanya terdapat empat suku dan empat orang penghulu suku.
Dengan adanya orang gedang seorang sekoto tersebut, maka ada satu dari empat suku tersebut yang memiliki dua orang penghulu, yakni seorang penghulu suku dan seorang lagi orang gedang. Itulah sebabnya jabatan orang gedang tersebut lama-kelamaan hilang dengan sendirinya.
Untuk mengurus kepentingan bersama dengan negeri-negeri tetangga, maka diadakan federasi-federasi. Pada awalnya di Rantau Kuantan terdapat tiga federasi, antara lain sebagai berikut:
Empat Koto di Atas, terdiri dari negeri Sumpurago, Lubuk Ambacang, Koto Tuo, dan Sungai Pinang.
Lima Koto di Tengah, terdiri dari negeri Kari, Taluk, Simandolak, Siberakun, dan Sibuaya.
Empat Koto di Hilir, yaitu Pangean, Baserah, Inuman, dan Cerenti.

Federasi Empat Koto di atas dikepalai oleh seorang Orang Gedang bergelar Datuk Patih yang berkedudukan di Lubuk Ambacang. Federasi Lima Koto di Tengah dikepalai oleh Datuk Bendaro Lelo Budi, yang bertempat di Kari. Dan Federasi Empat Koto di Hilir dikepalai oleh Datuk Ketumanggungan yang bertempat tinggal di Inuman. Ketiga federasi tersebut membentuk federasi lagi, yaitu Konfederasi Rantau Kuantan atau Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh. Dinamakan demikian, karena selain terdiri dari tiga belas negeri yang tergabung dalam ketiga ferderasi tersebut, masih ada negeri-negeri lainnya yang tergabung dalam konfederasi tersebut. Empat negeri lainnya, yaitu Teluk Ingin, Toar, Gunung, dan Lubuk Tarontang yang membentuk satu federasi juga yang disebut Empat Koto Gunung atau Empat Koto di Mudik. Federasi ini berada di bawah pimpinan Datuk Bendaro. melayuonline.com

http://www.koranriau.co.id/more/tapak/332-kerajaan-kandis-kuantan-bag2-habis.html 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu