Kabut Asap dan Kreativitas Sastra
Beberapa waktu
yang lalu, Provinsi Riau dilanda kabut asap. Papan Indeks Standar Pencemaran
Udara (ISPU) yang tegak kokoh di beberapa wilayah di Pekanbaru, tidak beranjak
dari level “sangat tidak sehat” dan “berbahaya”. Hal ini berarti tingkat
kualitas udara dapat merugikan kesehatan (level sangat tidak sehat) dan sangat
merugikan kesehatan (level berbahaya) pada populasi. ISPU ini ditetapkan berdasarkan
lima pencemar udara, yaitu CO, SO2, NO2, dan Ozon permukaan (03), dan partikel
debu (PM10).
Peristiswa
ini bukan untuk yang pertama kalinya terjadi. Ditengarai sudah tujuh belas atau
delapan belas tahun kabut asap “rajin” mengunjungi provinsi ini. Tidak hanya
Riau, beberapa provinsi lainnya, seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Tengah juga terdampak kabut asap. Bahkan, asap ini telah
pula “mengunjungi” negera tetangga, Singapura dan Malaysia, yang mengakibatkan
protes masyarakatnya terhadap Indonesia.
Bencana
kabut asap ini merupakan imbas kebakaran (pembakaran?) lahan atau hutan. Akibat
yang ditimbulkannya tidak main-main. Ribuan lahan/hutan musnah dan tentu saja
beserta habitat tumbuhan dan binatang di dalamnya. Tidak itu saja, kabut asap
(yang dikenal oleh orang Melayu dengan istilah jerebu) telah mengakibatkan ribuan orang terkena penyakit, mulai
dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit mata, sampai penyakit
kulit. Dikhawatirkan pula, dampak jangka panjang dari kabut asap ini bagi
kesehatan adalah kanker paru-paru. Dampak lainnya, penerbangan ke dan dari
Pekanbaru lumpuh. Bisnis kacau. Anak-anak sekolah diliburkan tanpa tahu kapan
dapat kembali ke sekolah secara normal.
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kabut bermakna ‘kelam; suram; tidak
nyata; awan lembap yang melayang di
dekat permukaan tanah; dan uap air sebagai hasil kondensasi yang masih dekat
dengan tanah yang terjadi karena peristiwa pemanasan atau pendinginan udara,
biasanya menyebabkan jarak pandang di permukaan bumi berkurang.’ Kata asap didefinisikan sebagai ‘uap yang dapat dilihat
sebagai hasil pembakaran’. Adapun kabut
asap dijelaskan sebagai ‘campuran antara kabut dan asap.’
Dibandingkan
kabut, asap lebih akrab dalam kehidupan masyarakat Riau. Dahulu, untuk
mengawetkan ikan, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan
mengasapinya. Masyarakat Riau mengenalnya dengan ikan salai (ada juga yang
mengenalnya dengan karasak), yang
tugunya diabadikan di depan kantor Walikota Pekanbaru.
Ketidakasingan
masyarakat terhadap asap, diabadikan pula dalam peribahasa. Untuk orang yang
belum menikah, ada peribahasa belum
dipanjat asap kemenyan. Orang yang melakukan perbuatan sia-sia atau
berangan-angan hampa belaka, digambarkan dengan peribahasa menggantang asap, mengukir langit. Ada pula pepatah masuk asap keluar angin yang berarti
‘sesuatu yang dikerjakan belum mendapat apa-apa.’
Tidak
hanya peribahasa yang memiliki makna negatif seperti yang disebutkan sebelumnya,
peribahasa dengan menggunakan kata asap
juga memiliki makna yang positif, seperti bagai
api dengan asap. Peribahasa ini menggambarkan sebuah persahabatan yang
sangat erat. Pepatah telah berasap hidungnya digunakan untuk
menggambarkan situasi ‘mendapatkan keuntungan setelah menderita dalam waktu
yang cukup lama.’
Jangan sampai kebakaran lahan/hutan
mengakibatkan kemiskinan terhadap masyarakat, seperti dalam pepatah tungku tak berasap yang ‘menggambarkan orang
yang sangat miskin sehingga tidak bisa makan/tidak ada yang akan dimasak’
terjadi.
Bencana
kabut asap ini juga diabadikan dalam karya sastra bergenre puisi dan cerpen.
Pada 2014 sebuah cerpen “Keluh Kesah” karya Novri Kumbara, dalam Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014. Tercatat juga beberapa cerpen
lainnya yang juga berkenaan dengan asap, yaitu “Asap Pak Tua” (Melda Savitri),
“Kabut Asap” (Syahda Sylvanto), dan “Kabut Asap” (Abdul Hamid).
Puisi
juga menjadi media untuk menyampaikan resah dan juga protes akan kabut asap
yang kerap melanda Indonesia. Di dalam blognya, Rakib Jamari menulis sembilan
puisi mengenai asap. Entah berapa orang pula yang menjadi penyair dadakan
karena menulis puisi asap di media sosial yang mereka punya.
Pada
Pekan Sastra Se-Sesumatera yang diselenggarakan Kantor Bahasa Jambi di Jambi,
28 September sampai dengan 3 Oktober 2015, Fakhrunnas MA Jabbar, Aries Abeba,
dan Dheni Kurnia membacakan puisi-puisi “asap” mereka di hadapan peserta Pekan
Sastra yang diikuti utusan Balai dan Kantor Bahasa se-Sumatera. Pada Sabtu, 3
Oktober 2015 dalam acara pembacaan puisi “Asap dan Azab”, tiga penyair Riau tersebut kembali
mementaskan puisi-puisi karya mereka mengenai asap.
Perhatikan
penggalan puisi berjudul ''Perjalanan Jerebu'' yang dibacakan penyair
Fakhrunnas MA Jabbar ini. Jerebu
menusuk kalbu/meresahkan jiwa/jerebu menyeruduk paru/
menyesak dada/Jerebu bertamu di pintu/menumpuk di ruang rumah/Jerebu masuk sekolah/mengamuk pada guru/dan sekolah pun diliburkan suka-suka/. Puisi ini menyampaikan kerisauan Fakhrunnas akibat kabut asap.
menyesak dada/Jerebu bertamu di pintu/menumpuk di ruang rumah/Jerebu masuk sekolah/mengamuk pada guru/dan sekolah pun diliburkan suka-suka/. Puisi ini menyampaikan kerisauan Fakhrunnas akibat kabut asap.
Tidak
hanya ketiga penyair tersebut, seniman Suharyoto Suwigno membacakan puisi asapnya
dalam aksi demonstrasi yang digelar di gerbang Kantor Gubernur Riau. “Saya sudah tidak bisa membedakan mana kantor
Gubernur dan mana kantor Polda/ itu semua karena banyaknya asap yang masuk ke
otakku," kata Aryo, panggilan akrab penyair itu dalam puisinya.
Hampir
seminggu ini, kabut asap mulai menghilang, terutama di Riau. Masyarakat kembali
dapat menghirup udara bersih. Di papan petunjuk ISPA, tertulis bahwa kondisi
udara berada pada level “baik”. Hal ini dianggap luar biasa mengingat selama
hampir empat bulan kondisi udara berada pada level “sangat tidak sehat” atau
“berbahaya”. Tentu saja, hal ini sangat melegakan. Berbagai aktivitas kembali
dapat dilakukan secara normal.
Namun,
mengingat bencana kabut asap ini datang setiap tahun, ada baiknya semua pihak
waspada akan berulangnya kejadian tersebut. Masyarakat diimbau untuk tidak
membakar lahan. Pemerintah diminta untuk membuat aturan yang jelas dan tegas
untuk pembukaan lahan. Pihak berwajib pun hendaknya dapat mengusut para
pembakar lahan tersebut dan meminta pertanggungjawaban mereka. Seperti kata
pepatah, kalau tak ada api, apa mungkin
ada asap. Peribahasa ini merupakan penggambaran bahwa jika tidak ada
penyebab, tidak mungkin akan terjadi sesuatu; sesuatu ada pemicunya.
Nah!
Bagaimana dengan kabut asap yang berlarut-larut ini?
Dimuat di Kolom "Alinea" Riau Pos, Ahad, 8 November 2015
Komentar
Posting Komentar