Pagelaran Gelar

Pernahkah Anda melihat nama seseorang dengan deretan gelar yang panjang? Apa yang ada di pikiran Anda? Kagum atau justru merasa “aneh”? Pernahkah Anda menjumpai gelar yang tidak familiar di mata dan telinga Anda? Pernahkah juga Anda mendapati surat, undangan, atau dokumen lainnya bernama Anda, tetapi gelar Anda ditulis tidak lengkap atau salah? Bagaimana perasaan Anda, jengkel, marah, atau biasa saja?

Bagi sebagian orang, gelar, apapun jenis dan tingkatannya, bukanlah sesuatu yang sangat penting sehingga apabila tidak atau salah tulis, tidaklah menjadi persoalan, apalagi jika dokumen tersebut bukan sebuah dokumen penting. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya, sebuah gelar merupakan hal yang sangat penting sehingga dokumen apapun, termasuk sebuah undangan rapat RT, misalnya, yang di dalamnya terdapat kesalahan dalam  penulisan gelar atau tidak ditulis sama sekali, dapat membuatnya meradang. Banyak alasan yang dikemukakan, misalnya susahnya mendapatkan gelar tersebut karena harus mengeluarkan uang yang banyak, dan sebagainya. Lagi pula, ada pandangan “parade” sekian banyak gelar dianggap dapat menaikkan gengsi, harga diri, dan status sosial.

Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai gelar, ada baiknya diketahui apa yang dimaksud dengan gelar. Kata gelar merujuk pada beberapa pengertian. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:429), gelar memunyai dua arti. Arti pertama, 1. sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau kesarjanaan yang biasanya ditambahkan pada nama orang; 2. nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sebagai penghormatan); 3. julukan yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang; sebutan. Arti kedua, gelar  juga berarti “hampar”.

Untuk arti yang pertama, yang berkenaan dengan sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau kesarjanaan, dapat diajukan contoh berikut. Untuk gelar kehormatan, dikenal gelar Panglima Besar yang diberikan kepada Jenderal Sudirman dan Jenderal Soeharto. Di Riau, gelar  Seniman Perdana (SP) disematkan kepada Taufik Ikram Jamil serta Seniman Pemangku Negeri (SPN) kepada Fakhrunnas MA Jabbar, Marhalim Zaini, dan Iwan Irawan Permadi yang diberikan oleh Dewan Kesenian Riau. Untuk gelar kebangsawanan, ada raden (Jawa), andi (Bugis), serta wan, raja, dan tengku (Riau). Sementara itu, contoh yang dapat disebutkan berkaitan dengan gelar kesarjanaan (akademis) adalah  A.Md. (D-3), S.H., S.Hut. (sarjana/S-1), M.M., M.Sc. (magister/S-2), dan Dr. (doktoral/S-3).

Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, ada juga gelar yang didapat sebagai nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua, seperti Sutan dan Panghulu Mudo. Gelar juga dikaitkan dengan julukan yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang. Sebut saja gelar si Kikir dan si Cebol untuk orang yang kikir dan cebol. Adapun gelar dengan arti kedua,  yang berarti “hampar” merupakan verba yang dapat dijumpai pada kalimat: Dia menggelar dagangannya atau Pemrov. Riau menggelar pameran kebudayaan tahun ini. Di dalam tulisan ini, arti kata gelar yang berkenaan dengan kehormatan, kebangsawanan, dan kesarjanaanlah yang dibahas.

Awalnya, gelar yang dikenal di Indonesia hanya gelar B.A., Drs., Dra, dan Ir.. B.A. (Bachelor of Art) adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah lulus sarjana muda untuk bidang sosial. Gelar Drs. (doktorandus) diberikan kepada lulusan perguruan tinggi yang laki-laki, sedangkan untuk lulusan yang perempuan digelari Dra. (doktoranda). Sementara itu, para sarjana teknik menyandang gelar Ir. (insinyur) di depan namanya.
 
Dewasa ini, gelar akademis ini semakin berkembang. Di Indonesia, gelar B.A., Drs., Dra., dan Ir. sudah tidak lagi dipergunakan. Sekarang, ada gelar Ama.Pd. (Ahli Madya Pendidikan), A.Md. (Ahli Madya), S.Ag. (Sarjana Agama), S.Pd. (Sarjana Pendidikan), M.A. dan banyak gelar lainnya. Berdasarkan surat edaran Dirjen Dikti Kemendiknas (sekarang Kemendikbud) no. 1030/D/T/2010 tanggal 26 Agustus terdapat gelar baru untuk bidang Psikologi (S.Psi., M.Si., M.Psi., M.Psi.T.), Ilmu Komunikasi (S.I. Kom., M.I.Kom.), Ilmu Komputer (S.T./S.Kom., S. Kom., S.SI., S.TI./S.Inf., Ilmu Administrasi (S.AB, S.AP, M.AB, M.AP), dan Arsitektur Lanskap (S.Arl.,S.SArl., M.Arl.).

Penamaan gelar semakin tidak terkendali. Beberapa pihak merasa perlu untuk menambahi bernagai gelar yang sudah ada. Mungkin, maksudnya supaya lebih jelas latar belakang pendidikan seseorang.  Selain S.Pd., ada juga gelar S.Pd.I. yang diberikan kepada Sarjana Pendidikan Agama Islam. Ketika bertugas ke daerah untuk mengadakan Penyuluhan Bahasa dan Sastra Indonesia, ditemukan beberapa gelar yang sebenarnya kurang familiar, seperti S.Pd.Ina dan S.Pd.Ind. yang keduanya merupakan gelar untuk sarjana pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ada juga gelar S.Pd.SD yang merupakan gelar sarjana untuk tamatan Fakultas Keguruan Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Sementara itu, S.Pd.I.MI disematkan pada alumnus Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri.  

Sesungguhnya, penulisan gelar ini sudah diatur di dalam Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) yang sudah diresmikan sejak 1972. Peraturan tersebut tersebar dalam beberapa bagian. Pada bagian pemakaian huruf kapital, disebutkan bahwa “huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang”. Pada bagian penulisan singkatan, dinyatakan bahwa singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik. Sementara itu, pada bagian penggunaan tanda koma, disebutkan bahwa “tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga”.

Berdasarkan pedoman tersebut, pada bagian pemakaian huruf kapital, disebutkan bahwa “huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang”. Hal itu berarti, penulisan yang benar adalah Seniman Pemangku Negeri (SPN) Fakhrunnas MA Jabbar, bukan seniman pemangku negeri Fakhrunnas MA Jabbar. Penulisan haji arifin yang benar adalah Haji Arifin.

Pada bagian penulisan singkatan, dinyatakan bahwa singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik. Dengan demikian, jika hendak menulis gelar yang menggunakan singkatan, ditulis Khumairi, S.Pd. bukan Khumairi, Spd, S.Pd, atau S.P.d. Sementara itu, pada bagian penggunaan tanda koma, disebutkan bahwa “tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga”. Oleh karena itu, harus ada tanda koma setelah nama orang yang diikuti dengan gelar akademis, seperti penulisan Mardiana, M.M., bukan Mardiana M.M..

Bagaimana menuliskan gelar yang banyak? Jika Anda mempunyai banyak gelar, untuk gelar yang linear, yang dituliskan hanya gelar yang tertinggi. Dengan demikian, Ismarini, S.H., M.H. cukup ditulis Ismarini, M.H.. Akan tetapi, apabila gelar yang didapat tidak linear, gelar tersebut ditulis semuanya, seperti gelar S.S., M.Pd. Mudah-mudahan setelah mengetahui cara penulisan gelar yang tepat, tidak ada lagi penulisan gelar yang salah. Bukankah tidak enak juga membuat orang tersinggung atau marah? Bukankah menyenangkan orang itu berpahala? Jadi, penulisan gelar yang tepat itu lebih baik, walaupun ada tulisan kecil di kertas surat undangan “Mohon maaf jika terdapat kesalahan penulisan nama atau gelar”.

Dimuat Kolom Alinea Riau Pos, Ahad, Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu