Randai Kuantan: Sebuah Catatan

Tak ada sebuah hasil budaya yang tetap atau statis. Dia akan berubah: berkembang atau mati. Hal itu sudah menjadi kodrat alam.

Semua itu bergantung pada kekuatan para pendukung budaya tersebut untuk mempertahankan atau mengembangkan dan tentu saja seberapa berat tantangan yang didapat dari luar.  

Demikian pula yang berlaku pada randai Kuantan. Randai yang hidup di tengah masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi ini pernah mengalami masa kejayaan dan kemunduran.

Setelah terbentuknya Kabupaten Kuantan Singingi, Oktober 1999, terbuka kesempatan untuk mendukung randai ini, salah satunya dengan mengadakan perlombaan.

Semangat untuk kembali menghidupkan randai mendapat sambutan dari masyarakat sehingga bermunculan grup randai hampir di seluruh daerah di Kabupaten Kuantan Singingi (terutama di Rantau Kuantan).

Penonton juga kian ramai mengunjungi pertunjukan-pertunjukan randai.

Mereka tak hanya dari kalangan tua yang bernostalgia dengan masa mudanya, tapi juga kalangan muda yang antusias untuk menikmati sajian randai ini.

Tak dapat disangkal bahwa randai Kuantan telah berkembang dari masa ke masa. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti lagu, tarian, tema cerita, busana, tempat pementasan dan juga pelibatan perempuan dalam aktivitas randai.

Biasanya, lagu-lagu yang dinyanyikan ini disesuaikan dengan cerita yang dibawakan. Terkait dengan tarian randai, di dalam tesisnya “Randai dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Riau”, UU Hamidy (1980) mengatakan bahwa berbeda dengan randai Minangkabau, randai Kuantan  tak lagi menggunakan unsur silat dalam tarian yang dibawakannya.

Sebagai gantinya, tarian silat itu diubah menjadi joget yang berasal dari daerah di Selat Melaka dan Medan.

Dalam Ensiklopedia Sastra Riau dinyatakan, randai terdiri atas lima unsur utama, yaitu cerita, lawak, musik, joget/tari dan lagu/nyanyian (Danardana (ed.), 2011).

Di dalam pertunjukan randai, setiap episode cerita diselingi lagu. Awalnya, lagu-lagu yang didendangkan berasal dari lagu-lagu daerah Melayu dan Minangkabau.

Dewasa ini, ada kecenderungan lagu-lagu yang didendangkan tak hanya lagu-lagu Melayu (Kepulauan atau Pesisir) atau Minangkabau yang sudah ada, tapi mulai didominasi oleh lagu-lagu baru berbahasa Melayu dialek Kuantan Singingi, seperti “Tolak Jatua Corai Ndak Sudah”, “Cigak Bugial”, “Tadayuak” dan “Panjek-Panjek Tabilusui”.

Perkembangan lain adalah pemunculan tema cerita yang lebih variatif. Pada mulanya, randai mengetengahkan cerita berdasarkan cerita-cerita rakyat atau koba.

Sekarang, cerita randai mengangkat persoalan keseharian masyarakat Kuantan Singingi pada khususnya. Ini membuat persoalan yang diketengahkan adalah persoalan-persoalan yang aktual, seperti yang terlihat pada cerita “Kusuik-Kusuik Bulu Ayam” dari grup randai Teratak Air Hitam.

Pada awalnya, untuk keseragaman, anak randai (sebutan untuk pemain randai) memakai kemeja putih dan celana hitam. Sekitar tahun 1990-an, bagi grup randai yang punya dana memadai, para anak randai yang menjadi pemusik, penyanyi atau pejoget, mulai memakai pakaian Melayu yang berwarna-warni sehingga lebih enak dipandang.

Sementara, pakaian para anak randai yang terlibat di dalam cerita yang dilakonkan, tetap disesuaikan dengan keperluan cerita, misalnya tokoh petani menggunakan baju ala petani dan tokoh ibu menggunakan baju kurung.

Perkembangan lainnya terlihat dari tempat pementasan randai. Dulu randai hanya ditampilkan di lapangan terbuka. Tak ada pentas yang ditinggikan dari penonton.

Penonton dan pemain berada pada bidang tanah yang sama. Dengan demikian, penonton dapat melihat pertunjukan dari semua arah.

Masyarakat menonton dengan mengelilingi grup randai yang tampil. Dewasa ini, randai telah pula tampil di tempat-tempat yang disengaja untuk pertunjukan seni.

Randai telah pula merambah hotel-hotel berbintang. Para penonton pun tak segan untuk bajugit (berjoget) bersama para anak randai.

Randai Dubalang
Beberapa tahun terakhir ini, muncul sebuah grup randai yang bernama “Dubalang”. Randai ini dipimpin seorang komedian Riau terkenal, Fakhri Semekot.

Sebagai figur publik, Fakhri berhasil membawa grup randainya untuk dikenal masyarakat, tak hanya masyarakat Kuantan Singingi yang bermastautin di Kabupaten Kuantan Singingi, tapi juga di Pekanbaru dan daerah lain.

Grup ini telah pula berkiprah di luar Provinsi Riau, yaitu diundang ke Bali, serta manggung di Kuala Lumpur dan Belanda.

Apa yang membuat grup ini terlihat menonjol dari grup randai  lainnya? Tak dapat dimungkiri, faktor pendiri sangat berperan dalam keberhasilan grup ini.

Fakhri yang seorang komedian senior mampu membuat cerita dengan lakon jenaka. Tentu saja salah satu tokohnya (utama) adalah dirinya. Alhasil, cerita tersebut terasa lebih hidup.

Pengalaman Fakhri dari panggung ke panggung, baik sebagai komedian, maupun sebagai seorang pewara (MC), membuatnya tak canggung dalam memerankan tokoh yang dilakonkannya.

Faktor keterkenalan Fakhri juga sebuah sisi lain yang menguntungkan grup tersebut. Jaringan luas yang dimiliki Fahri mengakibatkan peminat seni pertunjukan mudah menghubunginya.

Keberhasilan sebuah grup tentu tak mungkin ditunjang oleh seorang sosok saja. Begitu juga dengan randai Dubalang yang para anak randainya merupakan pemain-pemain yang dapat dikategorikan pelaku seni profesional.

Mereka merupakan orang-orang yang sedikit banyak punya pengalaman di bidang seni musik, seni teater dan lain-lain. Ini beda dengan pemain grup randai lainnya yang sebagian besar, kalau tidak semuanya, merupakan orang-orang yang belajar secara otodidak, mengandalkan bakat alam.

Keterlibatan Perempuan
Dalam masyarakat Kuantan Singingi, ada etika yang mengatur perilaku perempuan. Mereka tak diperkenankan keluar malam dan bergaul sembarangan dengan laki-laki.

Jangankan menjadi pemain randai, menonton pertunjukan randai saja mereka dilarang karena pertunjukan diselenggarakan pada malam sampai dini hari.

Akibatnya, tak ada penonton dan pemain perempuan. Alhasil, tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang berpakaian layaknya perempuan yang disebut bujang gadi.

Dewasa ini, pergaulan (laki-laki dan perempuan) yang sudah mulai terbuka, membuat perempuan tak lagi ditabukan untuk menonton randai.

Apalagi randai yang dipertunjukkan sekarang seringkali tak lagi perlu waktu yang sangat lama, terutama randai yang diundang pada acara-acara perkawinan atau pertunjukan di hotel-hotel. Hal itu membuat kaum perempuan tak lagi merasa canggung untuk menonton randai.

Di beberapa acara, kaum perempuan pun ikut menari, bajugit, bersama anak randai guna meramaikan suasana. Bahkan, pada randai Dubalang yang bermarkas di Pekanbaru, perempuan sudah menjadi bagian dari anak randai.

Akan tetapi, setakat ini pada grup-grup randai yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi, masih sangat sedikit perempuan yang menjadi anak randai.

Anak randai perempuan hanya terlihat pada sebuah grup randai yang anggotanya terdiri atas pelajar sekolah di Kecamatan Benai yang membawakan cerita “Gelora Muda”.

Artinya, masyarakat masih belum menerima sepenuhnya keterlibatan perempuan dalam pertunjukan randai, kecuali sekadar sebagai “penggembira” yang berjoget saat pertunjukan, bukan sebagai anak randai. Meski demikian, belum pernah terdengar ada konflik atau perdebatan mengenai hal ini.     

Perubahan-perubahan terhadap randai Kuantan tak mungkin dapat dihindari. Pemodifikasian di sana-sini layak dilakukan supaya randai dapat bertahan dan juga bersaing dengan budaya lain, serta dapat diterima di lingkungan yang lebih luas.

Akan tetapi, diharapkan perubahan tersebut tak menghilangkan kekhasan randai Kuantan yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada identitas budaya daerah.***

Dimuat di Kolom "Alinea", Ahad, 10 Maret 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu