Siti Nurbaya

Siapa yang tidak mengenal Siti Nurbaya? Tokoh imajinatif karangan Marah Roesli itu sudah melegenda di hati hampir seluruh rakyat Indonesia (bahkan Malaysia) yang pernah mengenyam pendidikan, tingkat dasar sekalipun. Tokoh protagonis dalam roman Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai itu, karena sedemikian terkenalnya, bahkan diyakini betul keberadaannya: bukan sebagai tokoh imajinatif, melainkan sebagai tokoh yang benar-benar ada (nyata). Buktinya, sebuah makam di Gunung Padang (salah satu objek wisata di Sumatera Barat) diyakini masyarakat sebagai makam Siti Nurbaya.

Beberapa waktu yang lalu, pada malam Penganugerahan Sagang 2014, Yayasan Sagang meluncurkan Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014, bersama lima buku lainnya: Naskah Melayu Kuno Daerah Riau (UU Hamidy), Dari Lubang Kembali ke Lubang (Muchid Albintani), Teror Lanun Selat Melaka: Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014 (Editor: Muhammad Amin), Humor di Tanah Melayu: Kumpulan Esai Riau Pos 2014, dan Bendera Putih untuk Tuhan: Kumpulan Puisi Riau Pos 2014. Di dalam Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 itu terdapat sebuah cerpen tentang Siti Nurbaya, berjudul “Senja bersama Siti Nurbaya”. Karya Relly A. Vinata (mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Riau) itu menarik untuk dibicarakan di kolom ini karena penulisnya “menghidupkan kembali” tokoh Siti Nurbaya.

Seperti yang telah diketahui, dalam Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (terbit pertama kali pada 1920 oleh Balai Pustaka dan hingga 2008 sudah dicetak ulang 45 kali, pun pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia dan bahasa Rusia serta sudah diadaptasi ke bentuk  sinetron: ditayangkan pada 1991 dan  2004), Siti Nurbaya digambarkan sebagai perempuan tertindas akibat adat-istiadat yang mengukungnya.

Gambaran/interpretasi tentang Siti Nurbaya seperti itu sama sekali tidak tampak dalam  “Senja bersama Siti Nurbaya”. Cerpen yang hadir 94 tahun setelah kemunculan Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai itu telah memunculkan interpretasi baru terhadap tokoh Siti Nurbaya. Seperti apa interpretasi baru itu? Ikuti dulu kisahnya, berikut ini. 

“Senja bersama Siti Nurbaya” berkisah mengenai tokoh saya, seorang anak bungsu (dari dua bersaudara) berusia sekitar 17 tahun. Pada suatu sore, ia bertemu dengan Siti Nurbaya (tentu saja secara imajiner, mengingat mereka hidup dalam masa yang berbeda). Ia sedikit heran karena Siti Nurbaya yang ditemuinya berbeda dengan gambaran (Siti Nurbaya) yang diyakininya. Selama ini ia membayangkan Siti Nurbaya (penentang adat kawin paksa itu) mirip dengan R.A Kartini (tokoh emansipasi perempuan dari tanah Jawa itu): perempuan berahang tegas dengan sebentuk gelungan (sanggul) di rambutnya. Sementara itu, Siti Nurbaya yang ia temui itu adalah sesosok perempuan berpipi bundar dengan raut sedih yang menyayat hati dan sama sekali tidak menyiratkan simbol perlawanan.

Dalam pertemuan itu, yang terungkap justru kegundahan hati Siti Nurbaya. Siti Nurbaya merasa harus menanggung dosa-dosa perempuan zaman sekarang yang dianggapnya sudah salah mencitrakan dirinya. Mereka kini dianggapnya telah menjadikan dirinya (Siti Nurbaya) sebagai tameng ketika tidak menyetujui penjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Menurut Siti Nurbaya, ucapan “Bukan zaman Siti Nurbaya lagi” telah dijadikan senjata untuk mendapatkan pembenaran atas penolakan (bahkan perlawanan) terhadap orang tua. Lebih lanjut, Siti Nurbaya pun mengkhawatirkan jika penolakan penjodohan itu akan melahirkan perempuan-perempuan durhaka.

Begitulah, interpretasi terhadap sebuah karya sastra terkadang berbeda dan berubah, sesuai dengan pemahaman serta latar (sosial, budaya, pendidikan, usia, agama) dan waktu pembaca(an)nya. Hal serupa pernah pula terjadi pada tokoh Samsul Bahri dan Datuk Maringgih. Dalam Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, Samsul Bahri (dan  Siti Nurbaya) adalah tokoh protagonis, sedangkan Datuk Maringgih tokoh antagonisnya. Akan tetapi, kemudian ada yang mendekonstruksi pemeranan kedua tokoh itu, dengan menjadikan Datuk Maringgih (yang awalnya dianggap tokoh antagonis karena tingkah polahnya yang dianggap jahat, diresepsi sebagai tokoh pejuang karena memihak tentara Indonesia) sebagai protagonis dan Samsul Bahri (karena menjadi tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) Belanda) sebagai antagonis.

Begitu pun tokoh Siti Nurbaya. Melalui “Senja bersama Siti Nurbaya”, Relly A. Vinata mengajak pembaca untuk melihat tokoh Siti Nurbaya dengan perspektif yang berbeda. Siti Nurbaya tidak lagi digambarkan sebagai penentang penjodohan, orang tua, dan adat, tetapi justru sebaliknya: sebagai penganjur ketaatan. Penjodohannya dengan Datuk Maringgih harus dilihat dari perspektif orang tua, bukan dari dirinya. Artinya, penjodohan harus dimaknai sebagai bentuk rasa sayang orang tua terhadap anaknya. Dengan demikian, pernikahkannya dengan Datuk Maringgih (yang kaya-raya itu) merupakan harapan orang tuanya agar kehidupannya lebih terjamin.

Terlepas dari semuanya itu, setidaknya ada dua hal menarik yang dapat dipetik dari cerpen “Senja bersama Siti Nurbaya” ini. Pertama, Relly A. Vinata telah “menghidupkan” kembali tokoh Siti Nurbaya. Kedua, melalui cerpennya itu juga, Relly A. Vinata memperlihatkan bahwa dirinya telah melakukan pembacaan Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai dengan baik. Kedua hal itu dapat memperkuat keyakinan para pakar bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dari kekosongan. Sekalipun demikian, sebuah karya sastra (dan unsur-unsur yang melekat padanya) hendaknya juga tidak dimaknai secara tunggal dan permanen.***

Dimuat di Kolom Alinea, Riau Pos, Ahad, 18 Januari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi

Pengarang-Pengarang Riau

Kumpulan "Syair Surat Kapal" dari Kabupaten Indragiri Hulu